05 Desember 2009

Diabetes? Siapa Takut!!


Bersahabat dengan Penyakit Diabetes

Judul : Diabetes? Siapa Takut!!
Penulis : Prof Dr dr Sri Hartini KS Kariadi, Sp.PD-KEMD
Penerbit : Qanita
Tahun terbit : Cetakan pertama, Agustus 2009
Jumlah halaman : 168 halaman

Salah satu penyakit yang menjadi momok di masyarakat adalah penyakit diabetes melitus atau sering disebut dengan penyakit gula. Penyakit tersebut merupakan kelainan metabolisme hidrat arang akibat berkurangnya hormon insulin, baik kekurangan relatif maupun absolut. Hasil penelitian Departemen Kesehatan yang dipublikasian pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi penyakit tersebut di Indonesia sebesar 5,7 persen yang berarti lebih dari 12 juta penduduk Indonesia saat ini menderita penyakit tersebut.
Para penderita diabetes (diabetesi) meskipun sedang menyandang diabetes mellitus, sesungguhnya memiliki usia harapan hidup dan produktivitas yang tidak kalah dengan orang normal. Namun demikian, diperlukan kepatuhan dalam melaksanakan program pengobatan yang dianjurkan.
Pengenalan terhadap penyakit tersebut yang meliputi perjalanan penyakit, gejala, komplikasi, tata cara penatalaksanaan yang benar, sangatlah diperlukan agar dengan pemahaman yang baik mendorong para diabetesi mematuhi program pengobatan dengan kesadaran penuh tanpa suatu paksaan. Para diabetesi tidak sepatutnya dibiarkan berjalan sendiri menjalani kehidupannya bersama penyakitnya.
Pemahaman yang lebih baik dari keluarga terhadap penyakit ini akan memberikan arti yang besar bagi para diabetesi dalam menjalani hari-hari dalam kehidupannya.
Buku ini akan sangat membantu untuk memahami secara mudah tentang penyakit diabetes melitus (DM), tidak hanya bagi para diabetesi, juga keluarga, praktisi di bidang kesehatan, serta masyarakat umum yang ingin mengenal lebih jauh mengenai penyakit tersebut.
Dengan pemahaman ini, kita berharap para diabetesi dapat tetap sehat bersama diabetesnya, berjalan bersama keluarga, masyarakat, dan praktisi di bidang kesehatan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Dalam buku praktis dan menarik ini, dengan gaya bahasa yang jernih, ringan, serta menenangkan, sang pakar diabetes menyampaikan tips dan trik menghadapi diabetes. Dengan santai pula, founder Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) ini menjawab semua mitos dan fakta tentang diabetes.
Tak hanya itu, berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun, sang dokter mengungkapkan berbagai hal yang perlu diketahui oleh para dokter dan professional lain di bidang medis, serta keluarga diabetesi.(herdiyan)
Dimuat di Harian Pagi Bandung Ekspres, Minggu, 8 November 2009

16 September 2009

Mari Sambut Kemenangan Sejati

Mari Sambut Kemenangan Sejati
Oleh Herdiyan
Perjalanan waktu terus berjalan. Tak terasa, bulan Ramadan telah berada di penghujung bulan. Hari ini umat Islam menjalani hari yang ke-26 di bulan Ramadan 1430 H. Dengan demikian, setidaknya kaum muslimin akan menjalani tiga hari lagi bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah ini. Berarti, sebentar lagi pula umat muslim akan merayakan hari kemenangan pada tanggal 1 Syawal 1430 H. Hari kemenangan atau yang sering dikenal dengan Hari Raya Idul Fitri diprediksi akan jatuh pada hari Minggu mendatang (20/9).
Dalam perjalanannya, sudah barang tentu banyak sekali suka dan duka yang harus dihadapi oleh kaum muslimin saat melewati hari-hari di bulan Ramadan tahun ini, mulai dari kelaparan yang tak terkira, dahaga yang begitu menusuk, terlambat bangun sahur, capeknya melaksanakan salat tarawih, dan lain-lain. Kita harus percaya, suka-duka tersebut akan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Di samping itu, semua itu akan menjadi kenangan tersendiri yang akan selalu diingat dalam memori seseorang.
Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu tujuan melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadan adalah sebagai media latihan yang diberikan Sang Khalik kepada makhluk-Nya. Dalam bulan ini umat Islam diberikan berbagai macam latihan, antara lain, latihan kesabaran, latihan berbagi dengan sesama, dan aneka latihan lainnya. Semua latihan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap makhluk-Nya agar selalu ingat kepada Sang Khaliknya.
Dengan menjalankan ibadah shaum Ramadan, umat muslim diberikan pelajaran untuk berbagi dengan sesama anggota masyarakat, terutama bagi anggota masyarakat yang tergolong fakir dan miskin. Kaum muslimin dilatih untuk ikut merasakan berbagai penderitaan yang dialami oleh masyarakat yang berada di garis kemiskinan, seperti, kelaparan, kehausan, dan sebagainya.
Saya teringat dengan pernyataan salah satu dai kondang Kota Bandung, KH Miftah Faridl. Menurutnya, di bulan ini pula masyarakat muslim dilatih untuk peduli kepada sesama anggota masyarakat. "Apalagi sekecil apa pun amalan yang dikerjakan di bulan ini akan diberikan pahala yang berlipat ganda," kata dosen ITB tersebut ketika berhasil saya wawancara.
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya pula, hakikat dari pelaksanaan ibadah shaum di bulan Ramadan adalah memberikan penguatan kembali kepada situasi keimanan umat muslim. Memang, kondisi keimanan umat muslim terkadang berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Nah, momen Ramadan ini merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kondisi keimanan umat muslim yang tengah rapuh itu.
Kurang dari seminggu lagi, umat muslim akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Pada hakikatnya, hari tersebut merupakan hari 'kembali' kaum muslimin kepada kesucian. Salah satu perjalanan yang harus dilalui terlebih dahulu untuk mencapai kesucian tersebut adalah dengan menjalankan ibadah shaum di bulan Ramadan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hari kemenangan yang sejati adalah hari yang khusus bagi umat muslim yang menjalankan ritual ibadah di bulan Ramadan dengan semaksimal mungkin, antara lain, shaum, salat tarawih, bersedekah, dan ibadah-ibadah lainnya. Selain itu, kemenangan yang sejati pula akan diperoleh khusus oleh umat Islam yang bisa menjaga perilaku dan kondisi keimanannya pada bulan-bulan di luar bulan Ramadan.
Maka dari itu, marilah kita semua bersiap-siap menyambut hari kemenangan tersebut. Terlebih lagi, kemenangan sejati akan diperoleh oleh seseorang yang melaksanakan ritual ibadah di bulan Ramadan secara maksimal. Sesungguhnya setiap umat Islam berhak menikmati hari kemenangan tersebut bila yang bersangkutan dapat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Semoga!(*)
Dimuat di Harian Pagi Bandung Ekspres, edisi Rabu, 16 Agustus 2009

04 September 2009

Indonesia Kembali Kecolongan

Indonesia Kembali Kecolongan
Oleh Herdiyan
Entah telah berapa kali Indonesia ternoda oleh pengklaiman Malaysia terhadap beberapa kebudayaan asli milik Indonesia. Masih ingat di dalam memori kita beberapa waktu yang lalu: Reog Ponorogo, batik, keris, lagu Rasa Sayange, masakan khas Padang Rendang, dan aneka kekayaan budaya Indonesia lainnya, telah diklaim oleh pemerintah Malaysia adalah miliknya.
Kini kembali, akhir pekan lalu tersiar kabar bahwa Tari Pendet Bali diklaim oleh Malaysia pula bahwa itu hasil kebudayaan mereka.
Bangsa Indonesia laksana kebakaran jenggot merespon tindakan dari Malaysia tersebut. Indonesia dibuat repot atas pengklaiman tersebut.
Kasus tersebut merupakan sebuah pelajaran telak bagi bangsa Indonesia. Pelajaran yang harus diterima oleh bangsa ini adalah betapa kita harus menghargai karya sendiri.
Mungkin, selama ini bangsa kita, terutama pemerintah Indonesia, tidak peduli dengan kebudayaan kita sendiri. Akibat ketidakpedulian tersebut, akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa lain untuk mengambil hak milik bangsa kita.
Maka dari itu, untuk mengatasi berbagai pengklaiman yang dilakukan oleh bangsa asing, diperlukan landasan hukum yang kuat. Landasan hukum yang dimaksud di atas adalah memiliki hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Selama ini, sepertinya kita, bangsa Indonesia terledor atas masalah tersebut.(*)

Solidaritas Bulan Ramadan

Solidaritas Bulan Ramadan
Oleh Herdiyan
Tak terasa, bulan berganti bulan, akhirnya kini kita telah memasuki bulan Ramadan 1430 H. Padahal, rasanya baru kemarin kita melakukan ibadah puasa dan rangkaian ibadah lainnya di bulan Ramadan 1429 H. Namun, inilah waktu: berjalan terus-menerus, tanpa henti.
Tak terasa pula, hari ini kita telah memasuki hari ketiga di bulan kesembilan dalam kalender Hijriyah tersebut. Meski belum lama memasuki bulan puasa ini, sudah barang tentu masyarakat telah merasakan pahit-manis melaksanakan ibadah-ibadah shaum Ramadan.
Pada hakikatnya, bulan Ramadan merupakan bulan solidaritas. Makna solidaritas di sini sangat luas, antara lain, berbagi 'sengsara' karena menahan lapar dan dahaga, berbagi rezeki dengan sesama, dan lain-lain. Itulah hakikat solidaritas umat Islam melaksanakan bulan Ramadan.
Pada bulan Ramadan, seluruh kaum muslimin, baik aghniya' (orang kaya) maupun dhuafa (fakir dan miskin), akan mengalami satu rasa, yaitu lapar dan dahaga. Mereka akan diperlakukan sama.
Bagi orang yang berkemampuan, mereka akan diberikan pelajaran oleh Yang Mahakuasa betapa menderitanya orang yang berada di bawah mereka. Dengan demikian, mereka akan ikut merasakan 'penderitaan-penderitaan' yang dirasakan oleh kaum dhuafa. Itulah pelajaran sangat bermakna yang diberikan Allah azza wa jalla.
Saya pun teringat dengan pernyataan Ketua MUI Kota Bandung, KH Miftah Faridl, beberapa waktu lalu. Menurut dia, bulan Ramadan hendaknya dijadikan sebagai bulan kepedulian kepada sesama. Selain sama-sama ikut merasakan kelaparan dan kehausan, bulan Ramadan hendaknya dimanfaatkan untuk bersedekah sebanyak-banyaknya kepada kaum dhuafa. Yang lebih menarik, setiap amal ibadah di bulan Ramadan akan dibalas berlipat ganda oleh Allah Swt.
Maka dari itu, apakah kita bersedia menerima tantangan untuk berbagi kepedulian tersebut? Yang jelas, selain mendapat pahala yang berlipat-lipat, kita akan menyelesaikan satu urusan penting yang melanda lingkungan kita, yaitu kemiskinan. Dengan bulan Ramadan, berarti kita telah berperang dengan kemiskinan. Sanggupkah?

25 Agustus 2009

Mengajar, Penembang Nasyid, dan Penulis


Profil M. Irfan Hidayatullah
Pengajar, Penembang Nasyid, dan Penulis
Nama : M. Irfan Hidayatullah
Tempat tanggal lahir: Tasikmalaya, 3 Maret 1973
Alamat : Jalan Bumi Sentosa 27 Perumahan Sentosa Asih Jaya Kelurahan Cipamokolan Kecamatan Rancasari Bandung
Pekerjaan : Dosen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Ketua Forum Lingkar Pena (2005-2009)
Istri : Dwi Siwi Retnoningsih
Anak : Izzati Husnul Amali
Ahmad Fawwaz Hidayatullah
"Saya memang menikmati karya sastra. Setidaknya, saat membacanya saya merasakan ada sebuah rasa muncul dalam jiwa. Sebuah rasa menjadi. Ya, rasa menjadi lebih kaya, rasa menjadi lebih ingin berpikir ulang, rasa menjadi lebih gelisah, rasa menjadi lebih banyak bertanya, dan rasa menjadi yang lainnya yang membuat saya tidak mau meranjak. Selain itu, saya juga penikmat proses kreatif bersastra. Setidaknya, saat saya mengalami proses persalinan sebuah cerpen. Ya, saya begitu menikmatinya dan bahkan mencermati proses itu yang kadang begitu rumit."
Itulah sekelumit pemikiran M. Irfan Hidayatullah yang ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Dapur Kreativitas Para Juara (DAR! Mizan, Desember 2003). Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan para penulis yang isinya menceritakan tentang suka-duka mereka dalam berselancar dengan dunia kepenulisan.
Selain menelusuri pemikirannya lewat tulisan-tulisannya, Bandung Ekspres juga berkesempatan untuk mewawancarainya langsung beberapa waktu lalu.
Dari pernyataan Irfan di dalam buku tersebut, dapat diketahui memang membaca tulisan (karya sastra) memiliki nilai tersendiri di dalam jiwa seseorang. Setidaknya, dengan membaca tulisan seseorang akan menjadi lebih berpikir mengenai sesuatu yang dibaca dalam tulisan tersebut.
Penulis juga yang menjabat sebagai Ketua Forum Lingkar Pena sejak tahun 2005 ini mulai menulis sejak kelas II SMP di salah satu sudut Kota Tasikmalaya. Tulisan pertama yang dihasilkannya berbentuk puisi. "Saya mulai menulis sejak kelas II SMP. Puisi itu untuk dikonsumsi sendiri," ujarnya saat diwawancarai Bandung Ekspres.
Akan tetapi, kata Irfan, setelah itu banyak temannya yang tahu bahwa dia suka menulis puisi. Bermula dari sana, banyak pula karya puisinya yang digemari oleh teman sejawatnya. Ada suatu cerita yang unik setelah puisinya digemari teman-temannya. Akhirnya itu pun menjadi objek bisnis yang menggiurkan baginya. Menulis bisa menjadi sumber penghasilan.
"Puisi-puisi itu saya jual kepada teman-teman seharga Rp 100 per puisi. Yang membeli biasanya teman laki-laki. Mereka biasanya ingin menghadiahi pacarnya dengan puisi-puisi," ujar Irfan sembari tertawa kecil mengenang masa lalunya.
Kegiatan menulisnya tak hanya sampai di sana, di sela-sela kesibukan menimba ilmu di tingkat SMA dan kuliah pun Irfan masih menyempatkan diri untuk menulis. Masa SMA Irfan mulai mengembangkan sayapnya dengan menulis cerita pendek (cerpen). Dunia kampus semakin membuat menggebu-gebu untuk selalu menulis, ditambah lagi dengan banyak pemikiran dari berbagai objek yang masuk ke dalam otaknya, mulai dari mulut dosen hingga buku-buku yang menghiasi perpustakaan kampus. Semua itu menjadi inspirasi tersendiri bagi Irfan dalam mengembangkan ide tulisannya.
Masa kuliahnya di Universitas Padjadjaran dihabiskan dengan membaca karya-karya sastra penulis ternama, seperti, Ahmad Tohari, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Selain itu, bapak dua anak ini aktif pula menulis artikel dan puisi atau syair (ini salah satu karya unggulannya). Tahun 1994, tepat di tahun keduanya kuliah, artikel pertamanya dimuat di surat kabar Mandala (sekarang tidak cetak lagi). Setelah itu, artike-artikelnya pun berkali-kali dimuat di media-media lainnya yang tersebar di seantero Kota Bandung.
Di samping menulis artikel, suami dari Dwi Siwi Retnoningsih ini juga menulis cerpen. Cerpen pertamanya yang berhasil naik cetak adalah kumpulan cerpen Merajut Cahaya (Syaamil). Irfan juga melebarkan sayap dunia yang telah membesarkan namanya itu dengan menulis novel. Novel pertamanya yang telah terbit adalah Dari Ruang Tunggu (2004). Tercatat, kini pria asli Tasikmalaya ini telah menulis 11 karya sendiri (novel dan antologi puisi) serta sekitar 25 karya berupa antologi dengan penulis-penulis lainnya. Beberapa syairnya pun termasuk dalam lirik-lirik Grup Nasyid Mupla. Irfan juga termasuk dalam personil grup nasyid yang terkenal di berbagai sudut Kota Bandung tersebut.
Aktivitas M. Irfan Hidayatullah sekarang beraneka ragam. Dia aktif menjadi dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung dan personil Grup Nasyid Mupla. Selain itu, beliau juga sedang aktif menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Kini dia tengah mengejar gelar doktor di kampus tersebut.

Bermula dari Tingginya Intensitas Membaca


PROFIL MUTHMAINNAH
Bermula dari Tingginya Intensitas Membaca
Nama : Muthmainnah atau May Moon
Nama asli : Maimon Herawati
Tempat tanggal lahir : Desa Palangki, Sumatera Barat, 13 Mei 1974
Pendidikan :
S1 Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
S2 (Master of Literature) dalam bidang kajian Islamic Jerussalem Studies di University of Abertay, Dundee, Scotland, United Kingdom
Penghargaan :
Penulis favorit pilihan pembaca SKI Annida pada tahun 1997
Cerpen "Operasi Flower Mossad" meraih hadiah hiburan dalam LMCPI III
Karya-karya :
Pingkan: Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1999)
Tembang di Padang (Syaamil, 2000)
Muara Kasih (Syaamil, 2001)
Rahasia Dua Hati (Syaamil, 2003)
Journey of the Hearts: Perjalanan Dua Hati (Sygma Publishing, 2008)
Memang, dalam kehidupan ini selalu ada sebab-akibat. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan keberadaannya, atau bagaikan kopi tanpa gula. Jika tak ada salah satu, maka itu dapat dirasakan kurang mantap atau kurang pas. Bila tak ditaburi gula, maka kopi itu akan terasa pahit, kurang enak di lidah.
Sama halnya pula dengan proses pencairan es. Sangat mustahil bila ujug-ujug es yang tengah beku langsung mencari menjadi air. Sudah barang tentu itu perlu proses terlebih dahulu. Intinya, setiap perjalanan hidup selalu dibarengi dengan proses. Ya, itu tadi: proses sebab-akibat. Itulah kisah perjalanan hidup ini yang penuh dengan peristiwa sebab-akibat.
Begitu pula dengan kejadian atau peristiwa yang dialami oleh seorang penulis yang terkenal lewat novel seri Pingkan pada tahun 90-an ini. Penulis yang dimaksud itu adalah Muthmainnah. Beliau merupakan salah satu pendiri organisasi kepenulisan yang sudah sangat terkenal di Indonesia, bahkan telah memiliki cabang di beberapa negara, yaitu Forum Lingkar Pena.
Penulis yang sering memakai nama pena Muthmainnah atau May Moon ini mengaku tak langsung menjadi seorang penulis yang telah dikenal oleh banyak orang dewasa ini. Katanya, itu bukan tanpa sebab, melainkan ada sebab khusus yang 'menjerumuskannya' ke dunia tulis-menulis ini. Prosesnya begitu panjang. Apa itu?
Muthmainnah mengungkapkan kepada Bandung Ekspres, kegiatan menulisnya dimulai sejak dia menduduki kelas 2 SMP. Itu pun disokong penuh oleh kegiatan membacanya yang superpower ketika itu. "Saya menulis sejak kelas dua SMP waktu masih tinggal di Padang. Tepatnya ketika itu saya sekolah di SMPN 2 Padang. Kegiatan menulis itu dimulai dari kesukaan saya dalam membaca. Setidaknya tiga kali seminggu saya selalu datang ke perpustakaan, lalu meminjam buku," ucapnya ketika Bandung Ekspres berkunjung ke rumahnya di Tanjung Sari, Sumedang, beberapa waktu lalu.
Betapa tidak, ibu tiga orang ini mengutarakan, karena keasyikan membaca, hingga tak terasa seluruh buku yang ada di perpustakaan sewaktu duduk di bangku SMP dulu tersebut telah dilumat habis olehnya. "Bahkan, kartu peminjaman buku di perpustakaan tersebut habis terisi karena saya keseringan meminjam. Padahal punya teman-teman masih banyak terisi kosong," ujarnya mengenang masa lalu.
Dari hobinya mengunjungi perpustakaan, Muthmainnah pun dianugerahi sekolahnya menjadi pengunjung terbaik mengalahkan teman-temannya.
Dari membaca yang superpower, penulis yang juga dosen Fikom Unpad ini mengemukakan, timbullah perasaan ingin menulis sesuatu yang dibaca dari buku-buku tersebut untuk dituangkan ke dalam tulisan-tulisan. Katanya, ada rasa tersendiri yang mengganjal jika seseorang senang membaca, yaitu ingin mengungkapkan apa yang dibaca menjadi tulisan. Itulah yang dirasakan oleh Muthmainnah.
Kegiatan menulis pertamanya dimulai dengan menulis cerita pendek (cerpen). Itu dilakukannya terus-menerus. Kegiatan itu berlanjut hingga May Moon duduk di bangku SMA. Di bangku SMA ini, dia mulai berani mengirimkan tulisan-tulisannya ke media-media cetak, seperti, majalah, koran, dan lain-lain.
Nikmatnya bukan main ketika melihat salah satu karyanya berhasil dimuat di salah satu majalah yang terkenal dulu. "Saat itu saya mendapat honor Rp 75.000. Nikmatnya bukan main," selorohnya.
Proses menulisnya pun berlanjut saat May Moon masuk kuliah di Fikom Unpad tahun 1992. Di kampus, kegiatan menulisnya semakin terasah. Sebelum masuk kuliah, tulisannya banyak menceritakan tentang pacaran. Saat masuk kampus, pemikirannya mulai teperbaiki karena Maya Moon mendapat materi-materi dakwah di lembaga dakwah kampus. Selain belajar dan menulis, saat di kampus May Moon juga aktif di dunia dakwah.
Bermula aktif di dunia dakwah itulah, dia berhasil mengajak teman-teman akhwat yang kebetulan memiliki hobi yang sama, yaitu menulis, seperti, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan lain-lain, untuk membentuk organisasi kepenulisan, yaitu Forum Lingkar Pena.

Ngabuburit dengan Sepedahan


Melongok Tradisi Ngabuburit Masyarakat
Ngabuburit dengan Sepedahan
Beragam cara dilakukan oleh masyarakat untuk memanfaatkan waktu di bulan Ramadan. Salah satu cara warga menikmati bulan puasa ini dengan ngabuburit.

Pukul 16.00 WIB sore kemarin (22/8), di salah satu sudut perumahan terkenal di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, terlihat beberapa orang tengah menaiki sepeda. Perlengkapan sepeda digunakan oleh mereka, seperti, helm, baju sepeda, hingga sepatu. Jarang sekali masyarakat melakukan aktivitas olahraga saat melakukan ibadah puasa, apalagi olahraga berat seperti itu.
Namun, tidak bagi mereka yang telah terlanjur hobi dengan olahraga yang satu ini. Puasa bukanlah penghalang bagi mereka yang telah keranjingan bersepeda. Malah kegiatan bersepeda dijadikan sebagai salah satu cara untuk menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit).
Bandung Ekspres mencari tahu alasan mereka melakukan olahraga sepeda dan berhasil mewawancarai salah seorang dari mereka. Sebut saja Tatang Rohadi, pesepeda yang telah melanglangbuana menikmati hobinya tersebut.
Tatang menuturkan, kegiatan bersepeda telah mendarahdaging di jiwanya. "Baik puasa maupun tidak, saya selalu bersepeda," katanya.
Di luar bulan Ramadan, Tatang dan teman-teman lainnya yang memiliki hobi yang sama bersepeda mengatakan telah memiliki jadwal khusus. "Kami setiap seminggu atau dua minggu sekali bersepeda," ucap warga Perum Bumi Rancaekek Kencana ini.
Rute yang sering mereka lalui, ungkap Tatang, adalah Rancakek-Kiarapayung. "Selain itu, terkadang setahun sekali kami sering melakukan sepeda jarak jauh. Terakhir kami bersepeda ke Yogyakarta," sambungnya.
Rute jarak jauh yang pernah mereka tempuh, sambung Tatang, antara lain, Pangandaran, Garut, dan lain-lain. "Kami senang melakukan itu. Jarak bukanlah penghalang. Semakin jauh jarak tempuh, malah membuat kami semakin tertantang," seloroh pria berkumis ini.
Begitu pula ketika bulan Ramadan tiba, mereka tidak memberhentikan aktivitas mereka itu. Namun, untuk menjaga stamina mereka melakukan olahraga sepeda hanya jarak dekat saja, yaitu Rancaekek-Kiarapayung.
"Kami berangkat dari rumah biasanya jam empat sore. Dari sini ke Kiarapayung menghabiskan waktu selama sekitar satu jam. Setelah itu langsung pulang lagi," tutur Tatang.
"Kami tiba di rumah biasanya sekitar sepuluh menit sebelum azan maghrib berkumandang," imbuhnya.
Meskipun sedang menjalankan ibadah puasa, Tatang berharap agar seluruh umat muslim tidak melepaskan kegiatan olahraga. "Dengan begitu, stamina kita akan terjaga dan insya Allah tetap sehat," tandasnya.
"Lakukanlah olahraga yang ringan-ringan saja agar tak terlalu menguras tenaga dan tidak menyebabkan ibadah puasa kita batal," pungkasnya.

07 Agustus 2009

Mendidik dengan Menulis Buku Anak


Profil Benny Ramdhani
Mendidik dengan Menulis Buku Anak
Nama : Benny Ramdhani
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 15 November 1970
Pekerjaan : Penulis novel anak
Beberapa Karya :
* Trilogi Garuda di Dadaku (Mimpi Sang Garuda, Garuda di Dadaku, dan Garuda Mengejar Matahari)
* Buku Jika Aku Jadi Kucing memperoleh penghargaan sebagai pemenang ketiga Adikarya Ikapi 2007
* SBeberapa karya lainnya, seperti, novel anak, kumpulan cerpen, kumpulan dongeng, dan pictorial book

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada masa liburan sekolah, sebuah film bagus hadir menghiasi bioskop-bioskop di tanah air. Film tersebut berjudul Garuda di Dadaku.
Film anak itu menceritakan tentang keinginan yang kuat seorang anak untuk menjadi pemain sepakbola terkenal. Cita-citanya telah bulat dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh kakeknya.
Film tersebut telah menempati posisi tertentu di hati para penonton Indonesia. Banyak sekali pelajaran dari film tersebut, terutama penanaman cita-cita sejak kecil.
Itu versi filmnya. Film Garuda di Dadaku merupakan hasil adaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama. Di balik kesuksesan film tersebut ternyata tak lepas dari peran penting sosok penulis novelnya sendiri, yaitu Benny Ramdhani.
Bandung Ekspres beberapa waktu lalu berhasil mewawancarai sang penulis Garuda di Dadaku, yang telah menelurkan puluhan karya anak ini di kantornya.
Kak Benny - panggilan akrabnya - telah menulis cerita dan dongeng anak-anak sejak usia sepuluh tahun. Akan tetapi, karyanya baru dimuat di Majalah Bobo ketika dia duduk di kelas tiga SMP.
Hingga kini beliau telah menulis ratusan cerpen dan dongeng anak di berbagai media cetak. Kegemarannya adalah membaca buku dan berselancar di internet. "Buku yang paling saya gemari adalah buku anak. Dari kecil hingga dewasa seperti sekarang, buku anak tetap saya sukai," selorohnya.
Hobi membaca buku-buku anak membuat pria kelahiran 15 November ini semakin giat berkiprah bergelut di dunia kepenulisan anak-anak. Beberapa karya khusus anak telah dihasilkannya, antara lain, novel, dongeng, cerita pendek (cerita pendek), dan lain-lain.
Benny mengungkapkan, menulis buku anak itu banyak tantangannya. "Memang menjadi penulis anak itu sangat berbeda dengan menulis buku-buku dewasa dan jenis buku lainnya, terutama masalah royalti. Menulis buku anak memiliki royalti yang lebih sedikit daripada menulis jenis buku yang lain," ujar bapak satu anak ini.
Selain tantangan itu, Benny menuturkan, menulis buku-buku anak juga memiliki beberapa tantangan lainnya, yaitu memiliki misi suci untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia. Misi suci tersebut, antara lain, meningkatkan minat baca, memberikan pendidikan yang baik, dan lain-lain.
"Selain menulis, seorang penulis buku anak juga ditantang untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Oleh karena itu, penulis buku anak harus bisa menghasilkan karya dengan semaksimal mungkin agar seluruh anak Indonesia gemar membaca," kata suami dari Titin Hartini ini.
Benny menuturkan, itulah tantangan menulis buku-buku anak. Dengan demikian, tantangan penulis anak bukan hanya sebatas idealisme, melainkan juga memberikan pendidikan kepada penerus bangsa ini. "Dengan begitu, penulis anak akan tertantang untuk memperbaiki nasib bangsa," ucapnya.
Benny mengkritik buku-buku anak impor yang beredar bebas di masyarakat beberapa tahun belakangan ini. "Anak-anak sekarang justru lebih suka membaca buku impor, seperti, komik, novel anak, dan lain-lain, daripada membaca buku anak hasil karya dalam negeri," sesalnya.
Meskipun menyukai karya-karya tersebut, lanjut Benny, tetap saja terkadang ada sisi yang tak boleh dikonsumsi oleh anak-anak Indonesia. Buku-buku impor belum tentu memiliki pengaruh positif bagi anak-anak. Perbedaan budaya dari isi buku tersebut menjadi permasalahan utama. (yan)

Banting Setir: Dari Wartawan ke Penulis Buku


Profil Tasaro GK
Banting Setir: Dari Wartawan Ke Penulis Buku
***Jatuh Bangun Selama Tiga Tahun Karyanya Tak Diterima Penerbit***
Nama : Tasaro atau Taufiq Saptoto Rohadi
Tempat tanggal lahir : Gunung Kidul, DIY, 1 September 1980
Alamat : Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat
Karya-karya :
Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004)
Wandu (Berhentilah Menjadi Pengecut!), menjadi Juara I Lomba Menulis Novel Tingkat Nasional Forum Lingkar Pena (FLP) Award 2005
Rumah Hati (Syamil, 2005)
Di Serambi Makkah (DAR! Mizan, 2005), buku terbaik Adikarya Ikapi 2006
Oh, Achilles, buku terbaik Adikarya Ikapi 2007
Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009)
Takhta Nirwana (Qanita, 2009)
Nama Tasaro tak asing lagi di telinga para pembaca. Namanya sering terpampang di spanduk-spanduk kegiatan kepenulisan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi, seperti, seminar, talkshow, diskusi, dan aneka acara kepenulisan lainnya. Penulis kelahiran Gunung Kidul, DIY tersebut, telah melanglangbuana ke berbagai penjuru daerah mengisi berbagai acara sebagai pembicara.
Ya, Tasaro. Itu merupakan nama penanya. Nama sebenarnya adalah Taufiq Saptoto Rohadi. Nama Tasaro merupakan akronim dari ketiga kata nama aslinya tersebut. Kini, penulis yang telah beberapa kali mendapat penghargaan ini dikenal pula dengan nama Tasaro GK. GK merupakan salah satu karya yang ditelurkannya pada awal tahun ini, yaitu Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009).
Masa kecilnya ketika di tanah Jawa begitu bahagia. Sejak kecil memang telah digiring dan diarahkan oleh ibunda tercintanya, Umi Daridjah, untuk menjadi seorang penulis.
Sejak duduk di bangku kelas 1 SD Trowono I, Tasaro telah mulai menulis puisi dan buku harian. Penulis yang menyukai segala jenis tulisan ini pun sering membawakan puisi karyanya maupun karya sang bunda dalam berbagai acara sekolah dan pagelaran desa.
Ibunya pula yang memoles kecintaan Tasaro terhadap seni. Minatnya yang beragam mengantarnya pada berbagai ajang lomba ataupun pertunjukan, baik yang digelar di desa maupun di sekolahnya. Mulai mengarang, menyanyi, menari, menggambar, sampai seni peran, dia pelajari dengan begitu tekun.
Selesai SD, dia pindah ke Kota Yogyakarta. Awal tahun 90-an, minat penulis yang juga menyukai beragam jenis musik ini terhadap dunia penulisan semakin menggebu-gebu. Kelas II SMP, Tasaro menulis cerita bergambar yang dihadiahkannya kepada seorang teman di SMPN 4 Yogyakarta, tempatnya menimba ilmu kala itu.
Selain aktif menulis, minat Tasaro terhadap kegiatan kepemimpinan dan organisasi begitu kuat. Dia sempat tercatat menjadi Ketua OSIS SMA Mataram Yogyakarta, pemimpin Paskibra, dan aktif juga ambil bagian dalam kegiatan majalah dinding (mading) sekolah. Waktu itu pula dia menulis novel yang tak selesai dengan judul "Sakura".
Begitu masuk perguruan tinggi, Tasaro semakin bersemangat menghidupkan kecintaannya terhadap dunia tulis-menulis. Hal ini terbukti. Saat masuk perguruan tinggi, dia mengambil Jurusan Jurnalistik di PPKP Universitas Negeri Yogyakarta. Di kampus inilah, Tasaro mendalami ilmu kewartawanan dan seni menulis fiksi. Berbagai kegiatan jurnalistik dia lakoni di kampus tempatnya menimba ilmu tersebut.
Setelah lulus kuliah pada tahun 2000, Tasaro melanjutkan minat jurnalistiknya dengan menjadi wartawan di Harian Pagi Radar Bogor (Jawa Pos Grup). Selain meliput kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa, Tasaro juga aktif di luar liputan, antara lain, menulis novel, mengajar jurnalistik, dan menyempatkan diri untuk kuliah di salah satu kampus Islam di kota hujan tersebut. Selama tiga tahun, dia jatuh bangun karena tak satu pun penerbit atau lomba fiksi yang meloloskan karyanya.
Akhirnya, masa menunggu itu usai. Karya pertamanya, yaitu Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004) terbit. Novel tersebut berkisah tentang dunia silat yang ikut terinspirasi oleh sandiwara-sandiwara yang sering hadir di radio.
Pria kelahiran 1 September 1980 ini juga pernah menjadi redaktur pelaksana Harian Pagi Radar Bandung (Jawa Pos Grup). Di koran tempatnya bekerja dulu tersebut juga Tasaro sering mengisi berbagai kolom, antara lain "Ngerumpi" dan menulis cerita bersambung.
Entah telah berapa karyanya yang telah beredar di hadapan pembaca karena saking banyaknya. Tahun ini, karya-karya yang berhasil diterbitkan adalah Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009) dan Takhta Nirwana (Qanita, Juni 2009).
Aktivitas penulis yang tinggal di lereng Gunung Geulis, Jatinangor, ini sekarang adalah menjadi Chief Editor Salamadani Publishing dan Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat. Tasaro juga aktif mengisi diskusi, seminar, dan pelatihan kepenulisan di berbagai daerah. Dari awal bulan Juni lalu hingga beberapa bulan ke depan, Tasaro juga menjadi pembimbing (pementor) peserta Beasiswa Menulis Karya Terobosan yang terselanggara atas kerjasama FLP Jawa Barat dan Penerbit Salamadani.

08 Juli 2009

Menikmati Perjalanan


Rabu, 8 Juli 2009

Saat naik delman, aku jadi teringat dengan salah satu lagu yang sangat terkenal:

Hari Minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Di samping pak supir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk...
Tuk tik tak tik tuk tik tak...
Suara sepatu kuda...

Dalam foto itu, aku sedang menikmati perjalanan naik delman 'istimewa' di Jalan Gunung Batu, Bandung. Seru nian saat itu. Saat itu aku menuju sebuah tempat pemungutan suara (TPS) yang ada di Komplek Cimindi Raya. Di sana aku akan melihat Wakil Walikota Cimahi, Eddy Rahmat, mencontreng. Juga mengontrol kondisi keamanan saat pelaksanaan Pilpres, Rabu, 8 Juli 2009.

Memang seru. Kunikmati tugas jurnalistikku itu dengan mengendarai delman yang telah jarang ada di kota-kota besar. Kuanggap itu sebagai pelepas penat yang selalu aku lakukan setiap saban hari.

Siang itu, aku naik delman dari kawasan Stasiun Cimindi, Kota, Cimahi, di sebuah tempat ngetem banyak delman. Perjalanan sungguh menantang. Yang sibuk bukan hanya pengendara delman, melainkan juga para penumpangnya. Jika pengendara sibuk mengendalikan kudanya, sedangkan penumpang 'sibuk' membenarkan tempat duduk, memegang kokoh tempat duduk agar tak bergeser karena sesekali tempat duduk penumpang turun-naik dan sangat mengganggu penumpang yang badannya tidak seimbang. Akhirnya, tak sampai 10 menit, aku pun tiba di lokasi yang kutuju.

Sungguh nikmat menikmati perjalanan menggunakan delman: penuh kenikmatan sekaligus tantangan. Aku salut dengan para pengendara delman karena dalam mengendarai delman diperlukan konsentrasi dan keahlian khusus agar delman berjalan seimbang dan kudanya selalu 'nurut' kepada sang majikan.

07 Juli 2009

Helvy Tiana Rosa, Menulis Bikin Kaya


Helvy Tiana Rosa, Menulis Bikin Kaya
Helvy Tiana Rosa lahir di Medan, 2 April 1970 adalah sastrawan, motivator menulis, editor dan dosen. Helvy memperoleh gelar sarjana sastra dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Gelar magister diperolehnya dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Sehari-hari ia adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.
Mantan Redaktur dan Pemimpin Redaksi Majalah Annida (1991-2001) ini, tahun 1990 mendirikan Teater Bening-sebuah teater kampus di FSUI yang seluruh anggotanya adalah
perempuan, menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater tersebut di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Auditorium Fakultas Sastra UI serta keliling Jawa dan Sumatera.
Helvy merupakan pendiri dan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP, 1997-2005), sebuah forum penulis muda beranggotakan lebih 7000 orang yang tersebar di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelola "Rumah baCA dan HAsilkan karYA (Rumah Cahaya)" yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Selama 11 tahun keberadaannya, bekerjasama dengan puluhan penerbit, FLP telah meluncurkan lebih dari 1000 judul buku. Karena kegiatannya yang begitu padat dan selalu memberikan 'pencerahan' kepada orang lain, The Straits Times dan Koran Tempo menyebut Helvy sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003). Tahun 2008, Helvy membawa FLP meraih Danamon Award--sebuah penghargaan tingkat nasional bagi mereka yang dianggap sebagai pejuang, dan secara signifikan dianggap berhasil melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar.
Tahun 1980-1990 Helvy memenangkan berbagai perlombaan menulis tingkat propinsi dan nasional. Namun menurutnya yang paling berkesan ketika 'Fisabilillah" menjadi Juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra, tingkat nasional (1992), dengan HB Jassin sebagai Ketua Dewan Juri. "Jaring-Jaring Merah" terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Lelaki Kabut dan Boneka mendapat Anugerah Pena sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2002), sedangkan Bukavu masuk seleksi Long List Khatulistiwa Literary Award 2008.
Istri Tomi Satryatomo serta Ibu Abdurahman Faiz dan Nadya Paramitha ini pernah terpilih sebagai Ikon Perempuan Indonesia versi Majalah Gatra (2007), Wanita Indonesia Inspiratif versi Tabloid Wanita Indonesia (2008), Tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Tokoh sastra Eramuslim Award (2006), Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2004), Ummi Award dari Majalah Ummi (2004), Muslimah Berprestasi versi Majalah Amanah (2000), Muslimah Teladan versi Majalah Alia (2006), dll. Sastrawan yang juga nominator Indonesia Berprestasi Award XL 2007 Bidang Seni Budaya ini, sering diundang berbicara dalam berbagai forum sastra dan budaya di pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir, Amerika Serikat, dll.
Mantan Sekretaris DPH-Dewan Kesenian Jakarta (2003) dan Anggota Komite Sastra DKJ (2003-2006), sehari-harinya adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Tahun 2008 ia terpilih sebagai Dosen Berprestasi Universitas Negeri Jakarta. Kini ia juga Ketua Majelis Penulis Forum Lingkar Pena, Direktur Lingkar Pena Publishing House, dan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).
Helvy telah berhasil menulis puluhan buku. Beberapa cerpennya telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Arab, Jepang, Perancis, Jerman,Swedia, dll. Di samping itu ia adalah editor puluhan buku dan kerap diundang sebagai juri dalam berbagai sayembara penulisan di dalam dan luar negeri.
Aktivitas menulis pastilah beraneka ragam, antara lain, menulis novel, puisi, artikel, cerpen, feature, folklor, atau bentuk-bentuk lainnya.
Beliau mulai menulis sejak kelas tiga SD. Telah banyak pula media yang berhasil Helvy tembus. Saking seringnya Helvy menulis, beliau sampai menulis cerpen atas nama teman-temannya agar cerpennya selalu dimuat di majalah.
Ada juga jurus-jurus sakti ala Helvy untuk mulai menulis seperti membaca. "Pertama, kita akan menuangkan air ke gelas orang lain. Maka gelas kita harus penuh. Kalau gelas kita kering, kita mau menuang apa?" jelas Helvy. Kedua, berlatih dengan catatan harian. Ketiga, korespondensi dengan para pakar ilmu. Keempat, berlatih deskripsi. Terakhir, bergabung dengan komunitas penulis.
Memang menulis bisa bikin kaya? Menulis bisa membuat kaya bukan kaya dalam artian kaya uang atau harta, yang dimaksud kaya itu luas. Kekayaan abadi seorang penulis adalah kekayaan gagasan, kekayaan wawasan, kekayaan jiwa, kekayaan ide, dan kekayaan imajinasi. Itulah hakikat kekayaan yang dimiliki oleh seorang penulis.

Ahmad Tohari, Tema Alam dan Kearifan Lokal


Ahmad Tohari, Tema Alam dan Kearifan Lokal

Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini. Para pengamat sastra mengakui bahwa karya-karyanya mempunyai nilai sastra yang sangat kental dan tinggi. Oleh karena itu, banyak karyanya telah diteliti oleh para akademisi - baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan, karya-karya beliau juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, seperti bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Penulis teringat dengan komentar dari beberapa pengamat. Sebagaimana dimuat di Majalah Tempo, 19 Februari 1983, Sapardi Djoko Damono mengatakan, "Dibandingkan dengan Kubah, novelnya yang terdahulu, Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan bahwa Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Seperti juga dalam Kubah, latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang, sangat menarik". Dr. H. J. M. Meier juga mengungkapkan, "Suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Tetapi yang paling mengasyikkan dari kesemua itu adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa" (Orion, April 1984). Kedua komentar di atas merupakan sebuah testimoni positif dari Sapardi dan Meier terhadap novel trilogi Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.
***
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka dari itu, warna hampir semua karyanya adalah menceritakan tentang lapisan bawah dengan latar alam, mulai dari Kubah, Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak, sampai pada Lingkar Tanah Lingkar Air. Beliau memiliki kesadaran dan wawasan alam yang sangat luas, sebagaimana terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya.
Seperti halnya yang pernah beliau tulis dalam sebuah makalah ketika saya menghadiri Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP) di Jakarta, 11-13 Juli 2008 lalu, Beliau menulis begini, "Barangsiapa tidak menjenguk tetangga yang sakit, nerakalah akibatnya. Secara luas tetangga yang sakit bisa diartikan sebagai kaum dhuafa, kaum miskin, kaum yang tertindas, dan terpinggirkan yang ada di mana-mana. Nah, merekalah sumber tenaga kreativitas saya karena pada merekalah pemikul-pemikul alamat ke mana saya bisa mendekatkan diri kepada Allah dan memberi ujud taqarrub ila Allah secara konkret. Dengan demikian, mudah dipahami mengapa dalam seluruh karya saya terlihat penghayatan dan pembelaan terhadap masyarakat bawah".
Boleh jadi karena rasa ketertarikannya dengan keaslian alam, maka Ahmad Tohari tidak betah hidup di kota. Jabatannya dalam staf redaksi kelompok Merdeka, Jakarta, yang dipegangnya selama dua tahun akhirnya ditinggalkannya. Kini dia kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan batu cadas di desanya.
Secara tidak langsung, karya sastra mempunyai fungsi sosial yaitu mentransfer informasi dari penulis kepada para pembaca (masyarakat umum atau khalayak). Dengan tulisan-tulisan dari para penulis, para pembaca dapat mengetahui tentang suatu informasi atau peristiwa tertentu yang belum diketahui oleh mereka.
Selain itu, karya sastra juga berfungsi memengaruhi perasaan para pembacanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kontribusi yang maksimal dari para penulis untuk menyampaikan pesan-pesan yang positif kepada para pembaca karya-karyanya agar memberikan teladan yang baik kepada masyarakat luas.
Dengan demikian, sesuatu yang dilakukan oleh Ahmad Tohari melalui karya-karyanya sudah memberikan pesan moral yang positif dan sangat berharga bagi para pembaca, terutama bagi 'orang-orang atas'. Karya-karyanya telah menyebarkan informasi kepada para pembaca mengenai pentingnya bersikap tenggang rasa dan toleransi kepada masyarakat bawah (orang miskin). Sebagaimana telah diketahui bahwa pengorbanan masyarakat bawah tersebut begitu 'menggebu-gebu' dan sangat mengharukan. Akan tetapi, yang tampak di masyarakat dewasa ini, ada beberapa golongan masyarakat yang tidak peka kepada mereka, seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran mereka di lingkungan sekitar kita. Dengan karya sastra, semoga dapat memberikan kesadaran transenden kepada masyarakat luas, khususnya kepada 'orang-orang atas', mengenai hadirnya masyarakat bawah di tengah-tengah kita selama ini. Semoga dapat memberikan kesadaran kepada mereka bahwa berbagi dengan sesama itu sungguh indah.

Habiburrahman El-Shirazy, Berperang terhadap Aksi Pembajakan


Berperang terhadap Aksi Pembajakan
PROFIL
Nama : Habiburrahman El-Shirazy
TTL : Semarang, 30 September 1976
Pendidikan : Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadis, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir (1999)
Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies in Cairo (2001)
Pekerjaan : Dai, novelis, dan penyair
Karya : Ayat-ayat Cinta (2004)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2004)
Di Atas Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
Ketika Cinta Bertasbih (1 dan 2) (2007)
Karya selanjutnya : Dari Sujud ke Sujud
Langit Makkah Berwarna Merah
Bidadari Bermata Bening
Bulan Madu di Yerussalem
Penghargaan : Pena Award 2005
The Most Favorite Book and Writer 2005
IBF Award 2006

Beberapa waktu belakangan ini, publik Indonesia disemarakkan dengan beredarnya film pembangun dan penyejuk jiwa yang bertemakan religius, yaitu film Ketika Cinta Bertasbih. Tak jarang kita saksikan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik, para penonton yang berdesak-desakan untuk menonton film tersebut.
Bahkan, suatu forum di dunia maya (salah satunya, kolega Bandung Ekspres di facebook) menyebutkan bahwa banyak sekali calon penonton yang tak kebagian tiket karena membeludaknya penonton yang juga ingin menyaksikan film tersebut. Padahal mayoritas manajemen bioskop telah menyediakan dua studio sekaligus dalam satu hari.
Film itu merupakan hasil adaptasi dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy dengan judul yang sama. Itulah versi filmnya. Versi film-meskipun masih dalam proses-tak kalah bagusnya dengan versi bukunya. Versi buku dan film sama-sama 'meledak'. Bukunya berkali-kali telah mengalami cetak ulang.
Tokoh di balik kesuksesan buku dan film Ketika Cinta Bertasbih adalah novelis asal Semarang, Habiburrahman El-Shirazy. Selain menulis novelnya, Kang Abik-sapaan akrabnya-juga merupakan konseptor film tersebut. Di samping itu, di film ini pula alumni Universitas Al-Azhar ini mengembangkan'bakat' terpendamnya dengan berperan sebagai Ustadz Musjab, seorang ulama Indonesia yang telah tinggal di Mesir.
Beliau merupakan penulis bertangan dingin. Setiap karya yang dihasilkannya selalu meledak di pasaran. Para penikmat buku selalu menunggu hasil-hasil karya berikutnya.
Kang Abik telah menghasilkan beberapa judul buku, antara lain, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, Dalam Mihrab Cinta, Ayat-ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, dan Ketika Cinta Berbuah Surga. Semua judul buku itu menjadi sumber bacaan favorit di kalangan para pembaca.
Para pembaca mana yang tak kenal dengan sosok penulis yang tawadhu' ini? Namanya sering hadir hampir di setiap diskusi kesusastraan atau diskusi keislaman, terutama di kalangan lembaga dakwah kampus. Ya, itulah Habiburrahman El-Shirazy, sosok penulis yang suka merendah, tipe pekerja keras, dan memiliki visi-misi yang begitu kokoh.
Bandung Ekspres telah beberapa kali bertemu dengan penulis yang juga seorang dai ini. Ketika bertemu dengannya, ada satu pokok bahasan yang sangat menarik untuk diungkapkan, yaitu masalah pembajakan buku. Wah, menarik sekali!
Memang, buku-buku yang laris di pasaran selalu menjadi 'objek' bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis buku. Dengan membajak buku laris, untung yang diperoleh oleh mereka akan berlimpah.
Coba saja kita lihat di toko-toko buku murah terkenal di Bandung, banyak sekali buku-buku laris dijual di sana dengan harga miring. Salah satu yang sering menjadi objek pembajakan adalah buku karya Kang Abik ini.
"Waktu saya berkunjung ke Medan, waduh banyak sekali buku Ayat-ayat Cinta (salah satu karyanya yang sangat laris, red) bajakan waktu (para peserta seminar, red) mau minta tanda tangan," ujarnya.
Beliau juga mengungkapkan sangat geram dengan aksi pembajakan yang melanda bangsa Indonesia. "Bangsa Indonesia telah hancur akhlaknya," komentar Kang Abik dalam suatu surat kabar.
Pria kelahiran Semarang, 30 September 1976 ini mengungkapkan, "Kepada para pembaca, saya mengharapkan agar membeli buku yang asli karena royaltinya dipergunakan untuk kepentingan dakwah juga. Dengan membeli buku-buku yang asli berarti telah membantu dakwah kita juga," nasihatnya kepada para peserta seminar ketika mengisi suatu acara di Aula PSBJ Universitas Padjadjaran.
Selain berprofesi sebagai penulis, Kang Abik juga bertindak sebagai pendiri sekaligus pengajar di Pesantren Wirausaha Basmala, Semarang. Hasil royalti dari menulis buku dan film dipergunakan untuk mengembangkan pesantren tersebut.

21 Juni 2009

Kerajinan Topeng Kertas


***** Mardan Harzani, Perajin Topeng Kertas
Unik&Kreatif
Topeng yang menggambarkan wajah Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan M Jusuf Kalla menjadi salah satu stand yang banyak mendapat perhatian pengunjung Pergelaran Produk dan Seni dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-8 Kota Cimahi di Cimahi Mall, Jalan Gandawijaya. Topeng tersebut sengaja dibuat untuk menyemarakkan pesta demokrasi lima tahunan.
------------------------------------------------------------
BILA diteliti, topeng tersebut terbuat dari kerta bekas semen. Siapapun yang melihatnya pasti akan tertawa, sebab karya ini sangat unik dan kreatif. Karya-karya tersebut merupakan hasil keterampilan tangan Mardan Harzani.
Selain topeng kertas berwajah para calon presiden, adapula wajah-wajah lain yang kebanyakan bergambar boneka kartun kesukaan anak-anak, seperti Spiderman, Ben7, Bobo, Mickey, dan lain-lain.
Bentuknya beraneka macam, setidaknya ada empat macam, mulai dari topeng yang paling kecil sampai yang paling besar. Harganya relatif terjangkau, seperti boneka paling kecil dijual dengan harga Rp15 ribu, agak besar Rp25 ribu, besar Rp50 ribu, dan bahkan yang paling besar bisa mencapai Rp1 juta.
"Kerajinan ini mulai saya geluti ketika 1982, waktu kerja di Palembang dulu," ujar pria yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat, Cimahi ini. Dia menambahkan, profesi ini sebenarnya perpaduan antara hobi dan keperluan. "Dulu kan gaji pegawai rumah sakit tak seberapa. Jadi saya berusaha mencari usaha sampingan dengan membuat topeng dari kertas," tambah pensiunan RSU Cibabat pada 1998 ini.
Mengenai bakat, dia mengatakan, tak tahu dari mana. "Yang jelas, anggota keluarga nggak ada yang berprofesi seperti saya sekarang," ujarnya. Itu ternyata berjalan dengan sendirinya.
"Waktu pindah dari Palembang pada 1992, saya tinggal di Ciburuy. Di sana juga berjualan topeng-topeng kertas di beberapa kawasan wisatanya," tutur pria berkacamata ini kepada Bandung Ekspres.
Usaha ini sebetulnya tidak digeluti begitu serius. Setelah pensiun pada 1998, pria yang tinggal di Cimahi Utara ini baru serius mengurusinya. Walaupun tak mempunyai modal yang besar, dia terus giat dalam membuat kerajinan tangan unik ini. Bahkan, Mardan belum mempunyai tempat khusus untuk menjual hasil karyanya ini.
"Alhamdulillah ada pameran kayak gini. Kemarin ada teman yang mengajak ikut pameran ini. Jadi saja saya ikut," ucap bapak dua orang anak ini.
Pria yang memiliki sembilan saudara ini berharap kepada berbagai pihak, terutama pemerintah terkait, untuk membantunya, terutama masalah modal. "Saya mengharapkan agar lembaga-lembaga atau pemerintah terkait memperhatikan usaha saya ini," harapnya di akhir pembicaraan dengan Bandung Ekspres, Kamis (18/6).

02 Juni 2009

Wisuda Nan Syahdu


Rabu, 27 Mei 2009
Pagi itu, langit cerah menyerubungi Kota Bandung. Panorama itu memberikan nuansa indah sekaligus memberikan pesan agar setiap individu selalu mengawali langkah dengan penuh semangat.
Pukul enam pagi, aku dan keluargaku telah keluar rumah. Kami naik mobil Carry menuju Unpad, Jalan Dipatiukur, untuk mengikuti acara-acara yang berkesan dalam kehidupanku dan keluargaku. Hari ini kami akan menghadiri acara wisuda karena aku telah menyelesaikan studiku di kampusku, almamater tercintaku.
Setelah tiba di kampus Unpad Dipatiukur, kami langsung terpisah. Aku mengiringi para wisudawan yang lain. Sedangkan kedua orang tuaku berjalan menuju para orang tua/wali wisudawan yang lain.
Ketika masuk ke dalam ruangan, suasana khidmat terjadi di sana. Suasana senang, pilu, dan syahdu bersatu padu di ruangan itu. Ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, aku merasakan seperti ketika aku duduk di bangku SD sampai dengan SMA dulu.
Namun, kini aku merasakan sesuatu yang lebih. Sungguh jauh berbeda. Ini adalah saat terakhirku berada di kampus tercintaku. Ini pula adalah kesempatan bagi diriku memberikan 'kesenangan' kepada kedua orang tuaku. Aku ber-azzam akan memberikan surprise kepada mereka di saat terakhirku berada di kampus ini. Apalagi, mereka belum tentu bisa setiap tahun berkunjung sini. Terutama disebabkan oleh tanah asalku yang sangat jauh dari sini, yaitu dari Provinsi Sumatera Selatan.
Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil memberikan memori yang mungkin tak akan dilupakan oleh mereka. Aku dinobatkan sebagai wisudawan tercepat daripada wisudawan yang lain. Aku berhasil mencapai kelulusan di kampusku dengan waktu 3 tahun 6 bulan di usiaku yang relatif muda: 21 tahun 7 bulan.
Alhamdulillah robbil 'aalamiin...

25 Mei 2009

Mencari Kehidupan di Bus Damri


Damri, Tempat Mencari Sesuap Nasi
Saat itu, mentari tak terlalu membuat dingin dan tak pula membuat tubuh ini gerah. Angin sepoi-sepoi terasa sangat memesona. Di Pintu Tol Moh. Toha berjejer para pencari rezeki: ada tukang koran, ada pengamen, dan bahkan, ada pula para pengemis. Mereka sedang duduk asyik di tempat duduk semen yang ada di sana. Saya baru saja turun dari angkot Banjaran-Tegallega dan tiba di lokasi itu untuk menunggu bus yang akan membawa saya ke Jatinangor, tempat kuliah saya. Kulihat raut muka mereka penuh pengharapan. Harapan agar hari ini dapat memperoleh uang untuk menghidupi keluarga-keluarga mereka.
Tak lama kemudian, datanglah bus yang kutunggu-tunggu: bus Damri Jurusan Elang-Jatinangor. Saya langsung menaiki bus itu dari pintu belakang. Ketika tiba di sana, Damri langsung diserbu oleh para pencari nafkah tadi. Mereka masuk bergiliran dari pintu depan dan keluar dari pintu belakang. Pertama, tukang koran. Kedua, tukang majalah. Ketiga, penjual air mineral. Keempat, penjual makanan ringan. Kemudian, yang terakhir adalah pengamen. Mereka begitu tertib. Ada pelajaran yang sangat berharga dari diri mereka: meskipun mereka mempunyai tujuan yang sama (mencari nafkah), tetapi mereka tak sampai sikut-menyikut satu sama lain. Inilah pelajaran hidup yang selalu saya tanamkan dalam diri saya.
Tak lama, bus Damri pun mulai berjalan dan merangsek masuk ke Pintu Tol Moh. Toha. Saya pun mulai merasakan kantuk yang begitu dahsyat. Tak lama berselang, sayup-sayup kudengar suara gitar yang dimainkan oleh pengamen yang masuk berbarengan dengan para penjual tadi. Lagu Ulah Ceurik pun mengalun membahana. Lagu itu membuat saya tak mengantuk lagi. Setelah lagu itu, lagu-lagu yang lain pun mengalun indah bak lantunan penyanyi kawakan. Lagu-lagu pun disudahi. Sang pengamen menyodorkan wadah kepada para penumpang. Saya lihat dia mendapat rupiah yang lumayan banyak.
Hingga tak terasa, perjalanan pun telah tiba di Pintu Tol Cileunyi. Tak lama keluar pintu tol, tepatnya di depan AMC Hospital, kembali masuk pengamen yang lain dan para pedagang beragam makanan. Ada penjual air mineral, penjual roti kering, dan lain-lain. Mereka semua akan turun bus dan akan mulai 'beraksi' lagi ketika bus tiba di pangkalan Damri Jatinangor, tepatnya di Kampus Unpad Jatinangor.
Begitulah suasana setiap perjalanan saya menuju kampus tercinta saya. Ada perasaan syahdu yang menyusup tubuh ini. Perasaan pilu sekaligus memprihatinkan melihat fenomena anak jalanan yang berkeliaran mencari sesuap nasi.
***

Tetralogi Laskar Pelangi dan Kearifan Lokal

Kearifan Lokal dalam Tetralogi Laskar Pelangi
Beberapa minggu belakangan ini masyarakat pembaca Indonesia ditakjubkan dengan hadirnya novel keempat dari tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Maryamah Karpov (setelah sebelumnya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor). Beberapa hari yang lalu, ketika launching novel pamungkas Andrea Hirata tersebut, sungguh membuat publik pembaca Indonesia tercengang.
Hari itu, Jumat, 28 November 2008, adalah hari tetralogi Laskar Pelangi. Meski hari pertama penjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, di toko buku Gramedia Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Pihak penerbit novel-novel karya Andrea Hirata, Bentang Pustaka menyediakan 100 ribu kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan pertama di Indonesia.
Hal yang disampaikan di atas merupakan fenomena yang sangat membuat bangga dunia perbukuan Indonesia sekarang. Ternyata, publik Indonesia tampaknya sudah mulai merangkak naik jumlah pembacanya. Namun, penulis tidak tahu pasti jumlah yang sebenarnya.
Tulisan ini bukan membahas mengenai fenomena tersebut melainkan membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tetralogi milik Andrea Hirata tersebut. Banyak sekali nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya, misalnya nilai keagamaan, nilai sosial, kedisiplinan, kepemimpinan, dan lain-lain. Namun, penulis ingin membahas satu tema yang sangat menarik: kearifan lokal, khususnya kearifan lokal suku bangsa Melayu, yang dimasukkan oleh penulis dalam novel-novel karyanya tersebut.
***
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat ‘local wisdom’, pengetahuan setempat ‘local knowledge’, atau kecerdasan setempat ‘local genious’. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat ke permukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah tersebut seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.
Kearifan lokal merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asah, asih, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertian; dan lain-lain.
Kearifan lokal merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya subak di Bali, bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Selain itu, kearifan lokal yang diungkap bisa juga berbentuk bahasa suatu daerah, cara bertutur, kebiasaan, dan masih banyak lagi yang mencirikhaskan suatu komunitas atau daerah.
Andrea Hirata telah memuat dan mengungkap unsur-unsur budaya Melayu dalam berbagai karyanya, tetralogi Laskar Pelangi. Budaya-budaya tersebut divisualisasikan olehnya dari dunia nyata masyarakat Melayu yang tak terjangkau oleh masyarakat pembaca menjadi suatu tulisan yang sampai kepada mereka. Sehingga dengan semua itu, masyarakat pembaca sedikit-banyak dapat memperoleh pengetahuan mengenai seluk-beluk adat-istiadat masyarakat Melayu. Sebagai contoh, Andrea menulis dalam karya pamungkasnya, Maryamah Karpov, mengenai karakteristik masyarakat yang mendiami pulau Belitong. Dia menjelaskan mengenai karakteristik masyarakat Ho Pho, Sawang, Khek, Hokian, Tongsang, dan masyarakat Melayu sendiri.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, kita dapat memperluas wawasan mengenai masyarakat Melayu melalui karya-karya Andrea Hirata (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov), dan juga kita dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 15 Januari 2009

22 Mei 2009

Menyoal Isu Lokal dalam Karya Sastra

Lokalitas dalam Karya Sastra
Sastrawan besar Nusantara, Ahmad Tohari – bahkan mungkin semua pihak – menilai bahwa dalam menghasilkan suatu karya para penulis (sastrawan) muda Indonesia saat ini tampaknya tidak terlalu meminati tema-tema yang berwarna lokal, yang mencirikhaskan budaya daerah tertentu. Kepekaan mereka terhadap isu-isu lokal mungkin sangat rendah karena nilai-nilai lokal yang ada di frame mereka sudah demikian terkikis oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi produksi luar negeri.
Hal ini juga diamini oleh penulis muda, Tasaro. Dia mengatakan bahwa jika sedang marak fenomena buku nonfiksi, para penulis muda itu sibuk menulis buku nonfiksi pula; jika marak fenomena teenlit, maka mereka menulis teenlit pula. Fenomena ini tampak pada karya-karya yang telah penulis-penulis muda itu produksi selama ini. Menurutnya pula, seharusnya seorang penulis harus mampu menjadi trendsetter bagi para pembaca.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh kedua sastrawan ‘tua’ dan ‘muda’ di atas, jika dibandingkan dengan karya-karya Nusantara lama, fenomena karya-karya dewasa ini sangat berbeda. Karya sastra lokal sangat mudah ditemui pada karya-karya lama yang telah ditulis oleh sastrawan-sastrawan Indonesia sejak abad ke-18 dahulu. Setiap karya yang ditulis oleh para sastrawan ketika itu senantiasa mengusung tema lokal dan warna budaya Indonesia yang sangat khas sesuai dengan tempat penulis itu berasal, misalnya, novel trilogi-nya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala), Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Robohnya Surau Kami karya AA. Navis, dan masih banyak lagi.
Muatan lokal yang diungkapkan di atas merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya Subak di Bali, Bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya.
Pengamat Sastra, Melani Budianta, menilai bahwa globalitas dan lokalitas merupakan dua hal yang saling berlawanan, sekaligus saling berkaitan. Globalitas sesungguhnya berangkat dari makna yang tersusun dan terbentuk dari nilai-nilai lokal. Semula jangkauan pasar mereka adalah pasar lokal dan kebutuhan masyarakat itu sendiri, selanjutnya meluas ke daerah sekitarnya. Bahkan, sekarang ini kita dapat melihat jangkauannya sudah me-nasional, malah terkadang meranjak ke tingkat internasional.
Prof. Dr. Partini Sardjono Pradotokusumo dalam bukunya Pengkajian Sastra menulis bahwa suatu karya sastra dapat berfungsi – salah satunya – sebagai penyebar informasi. Penyebar informasi dari orang yang tahu kepada komunitas yang tak tahu. Dengan suatu karya sastra, seorang pembaca dapat mengetahui informasi atau fenomena yang sebelumnya mereka belum ketahui.
Sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 14 Agustus 2008

21 Mei 2009

Sastra, Lingkungan, dan Lokal

Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal
Saat ini masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain: penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi-jadi, cuaca tidak menentu, pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es yang ada di kutub Utara dan Selatan. Jagat raya hanya tinggal menunggu masa kehancurannya saja.
Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan untuk mengatasi masalah ini sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Para sastrawan pun tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah yang telah santer belakangan ini.
Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun semenjak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang saat itu dan karya-karya kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan nafas kerinduan pada alam.
Sastrawan-sastrawan telah menempatkan alam dan lingkungan sebagai objek tulisan mereka. Bahkan, alam dan lingkungan biasanya menjadi lambang sebuah keromantisan suatu karya.
Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair. Maman S. Mahayana, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai bahwa pengungkapan alam dalam kesusastraan Indonesia umumnya lebih banyak tercantum dalam tulisan-tulisan berupa puisi daripada novel ataupun cerpen, contoh puisi ”Tanah Air” karya M. Yamin, puisi ”Priangan Si Jelita” karya Ramadhan KH, puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah novel yang bertemakan alam juga lumayan banyak beredar sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia, misalnya ”Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir Alisjahbana, ”Upacara” karya Korrie Layun Rampan, ”Arus” dan ”Pulau” karya Aspar Paturisi, karya-karya Ahmad Tohari (mulai dari ”Kubah”, ”Ronggeng Dukuh Paruk”, ”Di Kaki Bukit Cibalak”, sampai pada ”Lingkar Tanah Lingkar Air”), dan lain-lain.
***
Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, adalah tema yang diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), yang berlangsung pada tanggal 11-13 Juli 2008 yang lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta.
Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya, maka anggotanya–bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini–pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini (baca: alam dan lingkungan). Dengan kepekaan itu akan tercapai sebuah cita-cita terbaik yang sangat diharapkan oleh semua manusia.
Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata, melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.
Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Umum FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, ”FLP bukan bagian dari sastra Khaos yang menyuarakan kehitaman dan kejanggalan psikologis manusia postmodern. FLP adalah penggagas sastra kosmos yang menyuarakan kembali pada kesadaran yang sebenarnya sederhana di tengah gejolak kegelisahan masyarakat”.
Salah satu tujuan menulis adalah memengaruhi perasaan para pembaca. Maka dari itu, sangat diharapkan kontribusi yang optimal dari para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang bertemakan tentang persaudaraan manusia dengan alam dan lingkungan dalam memperbaiki keadaan alam yang sangat tidak bersahabat saat ini. Alam dan lingkungan tidak bersahabat dengan manusia karena manusialah selama ini yang tidak bersahabat dengan mereka.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 17 Juli 2008

19 Mei 2009

Bahaya Tren Fesyen bagi Remaja

Bahaya Tren Fesyen bagi Remaja
Apabila menonton sinetron atau film yang bertemakan remaja, kita akan dapat melihat fenomena-fenomena yang sangat membuat hati kita miris, antara lain, tema ceritanya yang tak beranjak dari hubungan percintaan, para pemerannya selalu menggunakan pakaian yang modis, dan masih banyak lagi. Sebagai contoh, di dalam sinetron atau film remaja yang diperankannya itu, pemain laki-laki kebanyakan memakai baju seragam sekolah yang sering dikeluarkan dari celananya sehingga tampak kurang sedap bila dilihat. Begitu juga dengan pemain perempuannya, selain mengeluarkan baju, mereka kebanyakan memakai rok sangat pendek yang boleh dikatakan amat seksi. Bahkan, di sekolah yang tergolong suasana formal (resmi) pun mereka tetap saja memakai pakaian-pakaian yang modis tersebut. Selain seragam sekolah, banyak sekali mode-mode lain yang sangat digandrungi, terutama oleh dunia remaja, seperti, pakaian santai di rumah, pakaian travelling, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai tren pakaian yang melanda dunia remaja kita. Menurut penulis, tren pakaian yang bergonta-ganti tiap waktu bukannya membuat akibat positif, melainkan banyak sekali mengundang akibat negatif.
***
Sebagaimana telah diketahui bahwa dunia fashion dari waktu ke waktu selalu menghadirkan sesuatu yang baru. Kita tentu masih ingat celana cutbrai yang digandrungi oleh kaum Adam di tahun 70-80-an, terutama remaja. Tak lama kemudian, berganti ke model yang lain. Dari tahun ke tahun terus-menerus berganti hingga sampai pada mode yang digandrungi remaja dewasa ini adalah seperti yang digunakan oleh personel band The Changcuters: celana ketat dari atas sampai bawah. Sungguh banyak jenis pakaian, baik baju maupun celana, yang telah digandrungi oleh generasi muda kita, baik laki-laki maupun perempuan.
Pakaian merupakan salah satu mode yang sangat cepat perubahannya bila dibandingkan dengan mode-mode lainnya. Dalam waktu sebulan ke depan, mungkin saja mode pakaian yang berkembang di Indonesia akan berubah dengan beriringnya zaman dan pengaruh dari berbagai pihak, terutama dari tontonan di televisi.
Faktor dominan yang memengaruhi hal-hal di atas adalah tayangan-tayangan televisi. Maka tak jarang lagi kita lihat, sebagian besar siswa SMA (remaja) memakai pakaian ala artis. Para perempuan memakai baju seragam sekolahnya begitu ketat dengan menonjolkan lekuk tubuhnya, rok yang digunakannya pun begitu seksi (rok mini sampai paha) mempertontonkan putihnya paha, dan lain-lain. Adapun laki-laki memakai celana seragam ketat (kuncup) yang kadang-kadang celana dalam (maaf) sengaja diperlihatkan, apalagi bila mereka jongkok.
Semua itu adalah hasil imitasi yang salah dari pencarian jati diri seorang remaja. Karakteristik dunia remaja adalah mencari jati diri dan panutan. Mereka tengah mencari identitas diri dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh idola. Jika panutannya salah, maka mereka pun akan terjebak dalam kesalahan.
Dr. Arif Sadiman, M.Sc., dalam tulisannya yang berjudul ”Pengaruh Televisi pada Perubahan Perilaku” mengutip laporan UNESCO (1994) bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat aksi kekerasan. Hasilnya menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka itu sering menyaksikan film-film kekerasan yang ada di televisi-televisi (Jurnal Teknodik No.7/IV/Oktober/1999).
Data yang dilaporkan UNESCO di atas memang membahas hubungan antara televisi dengan tindak kekerasan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga menyangkut hubungan antara televisi dengan dunia fashion. Berbagai pengaruh dapat ‘ditularkan’ oleh televisi, misalnya, cara berbicara, tingkah laku, tindak kekerasan, dan bahkan, cara berpakaian. Hal itu disebabkan oleh televisi memadukan audio dan visual sehingga membuat para pemirsa dapat dengan cepat meniru apa yang ada di dalam tontonan televisi.
Para remaja tak ada salahnya mengikuti mode fashion yang sedang berkembang. Namun, yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah apakah model pakaian tertentu yang mereka gandrungi tersebut sesuai dengan norma agama dan norma kesopanan? Apakah sesuai dengan masyarakat ketimuran kita yang masih menjunjung kesopanan?
Akibat dari salah panutan dalam cara berpakaian dewasa ini sudah banyak terjadi di masyarakat. Salah satu akibatnya yang sangat membuat hati miris adalah tindak pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak terjadi di lingkungan kita.
Menurut penulis, sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa tak ada salahnya untuk mengikuti mode, tetapi harus dibarengi dengan keahlian dalam menyaring perkembangan fashion tersebut. Maksudnya adalah kita jangan sembarang mengikuti arus zaman, tetapi harus pintar memilih antara yang baik dengan buruk. Yang paling penting untuk diingat adalah kesesuaian mode tertentu dengan norma yang ada di masyarakat. Agar seorang individu pintar memilih perkembangan mode pakaian antara yang baik dengan yang buruk adalah perlunya penanaman budi pekerti sejak kecil dari orang tua kepada anaknya, baik agama maupun akhlak. Dengan begitu, mereka akan memiliki ‘daya tahan’ tersendiri untuk memilih baik-buruknya suatu hasil produksi perkembangan mode pakaian.
***
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 17 April 2009

16 Mei 2009

Akhirnya, Tulisanku Dimuat

Akhirnya, Tulisanku Dimuat
Kamis, 17 Juli 2008, merupakan hari bersejarah bagiku. Hari itu aku merasakan bahagia yang tak terkira. Dunia terasa terang benderang menerangi perasaan, keinginan, harapan, dan cita-citaku untuk menjadi seorang penulis handal. Hari itu adalah saat kali pertama hasil karyaku berhasil menembus media cetak. Artikelku yang berjudul Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung, Jawa Barat.
Nikmat dan bahagianya tak terhingga, bukan main. Karena saking bahagianya, aku langsung mengirim SMS ke semua orang yang dekat denganku: PD III, ketua jurusan, para dosen, orang tua, saudara, teman, dan masih banyak lagi hingga tak terhitung. Apalagi ketika mendapat honor tulisan pertama itu di hari berikutnya, kebahagiaanku semakin lengkap.
***
Senin, 21 Agustus 2006, aku masuk organisasi kepenulisan yang bernama Forum Lingkar Pena (FLP), tepatnya FLP Jatinangor. Awal masuk FLP adalah suatu ketaksengajaan bagiku. Malam Senin itu, aku di-SMS oleh pementorku – namanya Kang Fajri – di DKM Al-Mushlih Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, untuk mengikuti suatu acara. Dalam SMS itu, beliau tak menyebutkan acaranya apa. Namun, Kang Fajri memberikan ‘iklan’ bahwa ‘engkau akan menyesal seumur hidup jika tak mengikuti acara tersebut’. Barangkali karena ‘iklan’ itulah, aku pun jadi penasaran untuk mengikuti acara tersebut. Akhirnya kuputuskan untuk hadir pada acara tersebut.
FLP, aku sama sekali tak kenal dengan organisasi ini. Jangankan FLP, nama-nama organisasi kepenulisan serupa dengan FLP pun aku tak mengenalnya. Alasannya adalah aku memang kekurangan informasi mengenai organisasi-organisasi kepenulisan itu karena aku terlahir di kalangan yang jauh dari jangkauan informasi ter-update. Kampung halamanku sangat terpelosok dari hiruk-pikuk perkotaan dan memang benar-benar sangat minim akan fasilitas-fasilitas informasi, seperti, internet, surat kabar, buku, komputer, dan lain-lain. Hal itulah barangkali yang menjadi alasan utama mengapa aku sama sekali tak tahu dan tak mengenal FLP, bahkan organisasi-organisasi kepenulisan di bumi Nusantara ini.
***
Aku hadir di acara tersebut tepat pukul delapan pagi. Panitia memperkenalkan kepada para peserta yang hadir saat itu mengenai profil FLP Pusat dan FLP Jatinangor. Perlahan aku pun semakin tahu dengan seluk-beluk FLP, kegiatan-kegiatannya, para penulisnya, dan sebagainya. Belakangan, aku semakin akrab dengan para penulis yang lahir dari organisasi ini, seperti, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Boim Lebon, M. Irfan Hidayatullah (kebetulan, beliau adalah seniorku di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran), Habiburrahman El-Shirazy, dan sejumlah nama lainnya.
Hari itu, Senin, 21 Agustus 2006, akhirnya saya resmi ‘dibaiat’ menjadi anggota FLP Jatinangor. Setelah acara pembukaan, kami mengikuti outbond. Setelah itu, mencurahkan apa yang kami alami ketika outbond itu ke dalam bentuk tulisan, seperti, cerpen, puisi, diari, dan sebagainya. Kemudian tulisan itu akan diserahkan ke panitia.
Saat itu aku menulis cerpen. Inilah kali pertama aku ‘menulis’ untuk orang lain, apalagi menulis dengan waktu yang diberikan panitia sangat sedikit. Meskipun laki-laki, saat SMA aku sering mencurahkan isi hatiku ke dalam diari yang kusimpan rapi di kamar. Entah berapa halaman diari telah kuhabiskan saat SMA dulu.
***
Waktu berjalan terus. Beragam acara yang bertemakan kepenulisan sering aku ikuti untuk memperoleh ilmunya, misalnya, seminar penulisan karya ilmiah, pelatihan menulis artikel di media massa, dan sebagainya. Selain ikut seminar, pelatihan, dan wokrshop kepenulisan itu, dengan ‘terpaksa’ aku banyak membeli buku mengenai cara menjadi penulis yang sukses dan menjadi penulis yang hebat. Selain itu pula, aku pun sering membaca novel yang berlabel ‘FLP’. Aku ingat betul novel yang berhasil khatam (selesai) kubaca pertama kali, yaitu Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Setelah itu, aku pun jadi keranjingan untuk membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi, terutama karya-karya anak FLP.
Selain sering membaca, aku mencoba mengungkapkan ide-ideku ke dalam bentuk tulisan. Aku ingin mencoba menulis untuk orang lain, bukan untuk diriku saja. Itulah yang selalu kucamkan dalam diri. Beberapa artikel telah kuhasilkan, kemudian coba kukirim ke surat kabar. Namun, hasilnya nihil. Entah sudah berapa kali aku mengirimkan artikel dan cerpen ke media massa, tetapi tetap tak dimuat. Tak ada hasil. Hingga akhirnya aku merasakan kebosanan. Aku pun menjadi malas untuk menulis, vakum dari dunia menulis begitu lama.
***
April 2008, FLP Jatinangor mendapat undangan dari FLP Pusat untuk menghadiri Silaturrahmi Nasional FLP pada tanggal 11-13 Juli 2008 di Jakarta. Aku dan kedua temanku pun hadir di sana. Aku seakan-akan menjadi manusia kerdil yang sedang berada di tengah-tengah segerombolan manusia raksasa (baca: sejumlah penulis hebat dan ternama). Aku menjadi ‘malu’ sendiri karena belum mempunyai satu karya pun yang berhasil dimuat dan dipublikasikan. Ada ‘rasa’ tersendiri padaku ketika bertemu dan bertatap muka dengan para penulis buku ternama, seperti, Ahmad Tohari, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Habiburrahman El-Shirazy, Boim Lebon, Fahri Asiza, dan masih banyak lagi.
Namun, aku tak patah arang. Aku tak boleh merasa kerdil. Aku ingin menjadi seperti mereka, bahkan insya Allah melebihi mereka. Itulah yang selalu kucamkan untuk memotivasi diriku sendiri.
Sepulang dari sana, ada seberkas cahaya yang memancar dalam jiwaku. Aku menjadi termotivasi untuk selalu menulis, menulis, dan menulis. Aku buka-buka materi Silaturrahmi Nasional FLP yang baru berlangsung beberapa hari yang lalu. Ada tiga makalah yang berhasil menarik minatku, yaitu milik Ahmad Tohari, Maman S. Mahayana, dan M. Irfan Hidayatullah. Dari ketiga ‘inspirasi’ itu, aku menulis artikel yang berjudul Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal (sesuai dengan tema Silaturrahmi Nasional FLP itu). Lalu artikel itu kukirim ke Kolom Literasi Kampus Harian Umum Pikiran Rakyat. Alhamdulillah tiga hari berikutnya, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2008, artikel itu dimuat dan menjadi artikel pertama yang berhasil dimuat di media massa. Bahagianya bukan main.
Artikel yang pertama kali dimuat itu selalu kujadikan perangsang agar aku semakin aktif menulis. Alhamdulillah dengan keistiqamahanku, tulisan yang kuhasilkan telah berpuluh-puluh kali berhasil menembus berbagai media massa, seperti, Pikiran Rakyat, Galamedia, dan Bandung Ekspres. Aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah memberikan jalan kepadaku sehingga aku menjadi seperti ini. Banyak sekali hikmah di balik semua peristiwa dan jalan hidup yang kualami selama ini.
Masjid Jami’ Iqro
Bumi Rancaekek Kencana, 16 Mei 2009
Pukul 13.41 WIB

12 Mei 2009

Pendekatan Spiritual Korupsi


Pendekatan Spiritual Korupsi
Judul buku : Kisah-kisah Islam Anti Korupsi
Penulis : Nasiruddin Al-Barabbasi
Editor : Yadi Saeful Hidayat
Penerbit : Mizania
Tahun terbit : Cetakan pertama, Maret 2009
Tebal buku : 272 halaman
Beberapa waktu belakangan ini semakin merebak berita mengenai tindakan korupsi yang melibatkan berbagai pihak, antara lain, pejabat pemerintahan, pejabat perusahaan, dan lain-lain. Berita-berita tentang perbuatan haram tersebut seringkali kita saksikan di berbagai media massa yang beredar di masyarakat dewasa ini, baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan, minggu-minggu ini kita sering menyaksikan di seluruh media yang memuat kasus Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, yang diperiksa pihak kepolisian karena dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, kepala salah satu BUMN di negara kita ini. Meskipun belum jelas kaitannya dengan tindakan korupsi – karena sedang dalam pemeriksaan pihak kepolisian, paling tidak kasus tersebut telah membuat lembaga pemberantas korupsi itu mem-booming (baca: menjadi objek pembicaraan) di tengah-tengah masyarakat kita belakangan ini.
Dengan bergulirnya waktu, telah dirasakan bahwa Indonesia bukannya berkembang menuju arah yang lebih baik melainkan berkembang ke arah yang lebih buruk. Korupsi merajalela di mana-mana, di lembaga pemerintahan, lembaga peradilan, bahkan yang sangat mencengangkan adalah korupsi pun terjadi di Departemen Agama RI yang notabene-nya merupakan orang-orang yang ‘mengerti’ agama. Karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini, negara kita telah dinobatkan sebagai negara terkorup pertama di Asia pada tahun 2005.
Penulis memandang bahwa fenomena praktek korupsi yang penulis sebutkan di atas terjadi karena ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal yaitu faktor yang timbul dari individu pelaku itu sendiri yang ‘serakah’ terhadap kebutuhan duniawi dan ingin pula memperoleh kekayaan melalui jalan pintas, tanpa melakukan banyak usaha. Masalah individu inilah yang menjadi permasalahan utama. Tindakan korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai moral yang dapat mencegah praktik korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai moral yang berintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh. Intinya, korupsi tidak akan terlaksana oleh seseorang bila seseorang tersebut memiliki kekuatan moral yang kokoh untuk menangkal praktek haram tersebut. Kedua, faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar pribadi koruptor (masalah sistem), misalnya hukuman bagi para koruptor selama ini yang tak tegas (ringan) dapat membuat mereka ‘ketagihan’ untuk melakukan aksi korupsi lagi, sehingga membuat mereka tak takut akan hukuman yang dijatuhi kepadanya. Adapula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa korupsi itu merupakan suatu hal yang biasa. Mereka menilai korupsi bukan hal yang tabu lagi. Semua itu menjadi faktor seseorang akan melakukan aksi korupsinya.
Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crime karena telah merusak. Yang dirusak adalah tidak hanya keuangan negara dan potensi ekonomi negara saja, tetapi juga telah menghancurleburkan sendi-sendi sosio-budaya, moral, politik, dan tatanan hukum serta keamanan nasional. Oleh karena itu, pemberantasannya tidak bisa hanya dilakukan oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial, tetapi harus dilaksanakan secara komprehensif oleh kita bersama (oleh aparat berwenang, masyarakat, mahasiswa, dan lain-lain).
Untuk memberantas polemik di atas, salah satu caranya adalah dengan menggunakan pendekatan spiritualistik, yaitu dengan menanamkan konsep-konsep yang bersifat spiritual, dengan menanamkan rasa takut kepada Tuhan dan azab-azab-Nya kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga dirinya dapat menghindari untuk melakukan praktik korupsi tersebut. Pemahaman terhadap agama harus dikuasai semenjak dini dengan kuat agar dapat membawa setiap individu pada saat bergelut di dunia kerja kelak. Tindakan-tindakan korupsi selama ini diharapkan dapat dijadikan bahan pelajaran bagi generasi muda agar pada masa depan, ketika memimpin bangsa nanti, tidak melakukan korupsi seperti yang terjadi selama ini. Generasi muda harus dijauhkan dari pengaruh korupsi.
Kisah-kisah Islam Anti Korupsi sangat cocok dibaca oleh semua kalangan, baik kalangan atas, menengah, maupun bawah. Buku ini sejalan dengan paparan penulis di atas mengenai pendekatan spiritualistik. Yang dimuat dalam buku ini adalah pengalaman-pengalaman atau kisah-kisah para sahabat dan para tabi’in yang dengan teguh hati memegang pendirian mereka untuk tidak melakukan perbuatan korupsi. Mereka dengan sepenuh hati untuk selalu berbuat jujur di manapun mereka berada karena mereka mempunyai pemahaman agama yang sangat tinggi. Mereka menyadari bahwa sekecil apapun perilaku korupsi yang mereka lakukan, maka akan dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang berat. Dengan membaca buku ini, diharapkan dapat memberikan setitik embun sejuk kepada para pejabat yang tengah berada dalam keterombang-ambingan hidup untuk melakukan tindak korupsi, menyuap, dan lain-lain. Dengan begitu, diharapkan pula dapat mengurangi tindak korupsi yang kian merajalela di bumi Nusantara ini. Semoga!
***

14 April 2009

Orang Tua dan Dekadensi Moral

Orang Tua dan Dekadensi Moral
Pada akhir tahun 2008 lalu – sebagaimana dimuat oleh Harian Sumatera Ekspres (grup Bandung Ekspres), data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa perilaku seks remaja dewasa ini cenderung bebas dan tak mengenal etika. Menurut hasil survei yang diterima lembaga tersebut, 63 persen remaja di Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Ironisnya, 21 persen di antaranya dilaporkan melakukan aborsi.
Persentase remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data penelitian pada tahun 2005-2006 di kota-kota besar, seperti, Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar, angka itu sempat berada pada kisaran 47,54 persen. Akan tetapi, hasil survei terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen.
Hasil survei di atas seharusnya cukup membuat seluruh bangsa Indonesia terhenyak. Betapa tidak, hasil survei tersebut berarti menunjukkan bahwa lebih dari separuh remaja SMP dan SMA di bumi Indonesia ini telah melakukan perbuatan amoral sangat berat, yang sudah barang tentu amat bertentangan dengan norma agama dan norma sosial. Padahal kita ini adalah negara Timur yang sangat mengedepankan sopan-santun dan harga diri. Berdasarkan hasil tersebut, berarti kita tak ada bedanya dengan negara-negara Barat yang telah lama menganut ‘kebebasan’ di setiap lini kehidupan mereka. Salah satu sumber yang penulis temukan mengatakan bahwa di Barat anak putri yang umurnya kurang dari lima belas tahun rata-rata sudah tidak perawan lagi. Hal tersebut disebabkan oleh kebebasan mereka dalam menjalani hidup ini dan moral mereka sudah bobrok.
Remaja menerima banyak sekali rangsangan dari luar yang menstimulus perilaku seksual mereka, antara lain, pengaruh pergaulan bebas, faktor lingkungan, keluarga yang kurang memberikan pendidikan seks, dan pengaruh media massa. Akibatnya, terjadi pergeseran perilaku pacaran di kalangan remaja dewasa ini. Dulu, berpacaran hanya dilakukan dengan berpegangan atau bergandengan tangan. Akan tetapi sekarang, pacaran tanpa rabaan, ciuman, dan belaian, sering disebut bukan pacaran.
Tingkat kematangan reproduksi remaja saat ini, memang berbeda dengan dulu. Dulu, seorang remaja putri mungkin baru memperoleh menstruasi pada usia 12 tahun. Akan tetapi kini, usia 9-10 tahun sudah menstruasi. Selain karena faktor gizi yang semakin baik, tingkat kematangan ini terjadi karena begitu banyak stimulus dari luar yang diterima oleh generasi muda, seperti tayangan-tayangan di televisi, menjamurnya situs-situs porno di internet, buku porno, blue film, dan lain-lain.
Kita harus mengakui bahwa pada masa remaja seseorang tidak lagi bisa dianggap anak kecil, tetapi juga belum pantas dianggap telah dewasa. Acapkali pada usia seperti ini seorang anak menunjukkan sikap-sikap yang mengejutkan. Sikap mengejutkan itu adalah berupa sikap memberontak dan menolak hal-hal yang selama ini menjadi rutinitas mereka. Secara seksual mereka juga tengah menuju kematangan, sehingga harus diawasi dan diikuti perkembangannya dengan seksama. Yang paling penting dalam perkembangan pada usia remaja ini, mereka juga tengah mencari identitas diri dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh idola. Dengan kata lain, mereka akan meniru apa pun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh idola mereka, contoh konkretnya adalah artis-artis yang berseliweran muncul di televisi. Pada masa pencarian jati diri ini, bila tidak mendapatkan bimbingan yang memadai, seorang anak akan menyerap nilai-nilai yang salah.
Untuk mengatasi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang salah. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Nilai moral dan budi pekerti merupakan fondasi utama perilaku baik yang dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya. Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat mengatasi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
Usaha yang efektif untuk mencegah ketidaktahuan mereka terhadap kehidupan seksual adalah dengan edukasi (pendidikan). Edukasi adalah langkah yang paling efektif untuk diberikan kepada remaja karena remaja merupakan cikal bakal generasi berikutnya. Para orang tua seharusnya dapat memberikan edukasi yang baik, jelas, dan tepat kepada para anaknya agar mereka betul-betul paham mengenai persoalan ini. Para orang tua pun harus dapat mencari cara-cara edukasi yang efektif agar topik yang disampaikan dapat mengena di hati mereka. Salah satu caranya adalah orang tua harus siap menjadi tempat curahan hati (curhat) mereka di kala mereka gundah gulana dan juga memberikan pemahaman-pemahaman positif agar mereka tidak melakukan perbuatan yang negatif.
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 14 April 2009