25 Mei 2009

Tetralogi Laskar Pelangi dan Kearifan Lokal

Kearifan Lokal dalam Tetralogi Laskar Pelangi
Beberapa minggu belakangan ini masyarakat pembaca Indonesia ditakjubkan dengan hadirnya novel keempat dari tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Maryamah Karpov (setelah sebelumnya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor). Beberapa hari yang lalu, ketika launching novel pamungkas Andrea Hirata tersebut, sungguh membuat publik pembaca Indonesia tercengang.
Hari itu, Jumat, 28 November 2008, adalah hari tetralogi Laskar Pelangi. Meski hari pertama penjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, di toko buku Gramedia Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Pihak penerbit novel-novel karya Andrea Hirata, Bentang Pustaka menyediakan 100 ribu kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan pertama di Indonesia.
Hal yang disampaikan di atas merupakan fenomena yang sangat membuat bangga dunia perbukuan Indonesia sekarang. Ternyata, publik Indonesia tampaknya sudah mulai merangkak naik jumlah pembacanya. Namun, penulis tidak tahu pasti jumlah yang sebenarnya.
Tulisan ini bukan membahas mengenai fenomena tersebut melainkan membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tetralogi milik Andrea Hirata tersebut. Banyak sekali nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya, misalnya nilai keagamaan, nilai sosial, kedisiplinan, kepemimpinan, dan lain-lain. Namun, penulis ingin membahas satu tema yang sangat menarik: kearifan lokal, khususnya kearifan lokal suku bangsa Melayu, yang dimasukkan oleh penulis dalam novel-novel karyanya tersebut.
***
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat ‘local wisdom’, pengetahuan setempat ‘local knowledge’, atau kecerdasan setempat ‘local genious’. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat ke permukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah tersebut seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.
Kearifan lokal merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asah, asih, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertian; dan lain-lain.
Kearifan lokal merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya subak di Bali, bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Selain itu, kearifan lokal yang diungkap bisa juga berbentuk bahasa suatu daerah, cara bertutur, kebiasaan, dan masih banyak lagi yang mencirikhaskan suatu komunitas atau daerah.
Andrea Hirata telah memuat dan mengungkap unsur-unsur budaya Melayu dalam berbagai karyanya, tetralogi Laskar Pelangi. Budaya-budaya tersebut divisualisasikan olehnya dari dunia nyata masyarakat Melayu yang tak terjangkau oleh masyarakat pembaca menjadi suatu tulisan yang sampai kepada mereka. Sehingga dengan semua itu, masyarakat pembaca sedikit-banyak dapat memperoleh pengetahuan mengenai seluk-beluk adat-istiadat masyarakat Melayu. Sebagai contoh, Andrea menulis dalam karya pamungkasnya, Maryamah Karpov, mengenai karakteristik masyarakat yang mendiami pulau Belitong. Dia menjelaskan mengenai karakteristik masyarakat Ho Pho, Sawang, Khek, Hokian, Tongsang, dan masyarakat Melayu sendiri.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, kita dapat memperluas wawasan mengenai masyarakat Melayu melalui karya-karya Andrea Hirata (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov), dan juga kita dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 15 Januari 2009

1 komentar:

  1. siiip, aku suka tetralogi ini. walu banyak teman yang tak puas dengan cerita akhirnya di maryamh karpov.hm, mungkin mereka perlu buat sendiri agar puas..

    BalasHapus