14 April 2009

Orang Tua dan Dekadensi Moral

Orang Tua dan Dekadensi Moral
Pada akhir tahun 2008 lalu – sebagaimana dimuat oleh Harian Sumatera Ekspres (grup Bandung Ekspres), data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa perilaku seks remaja dewasa ini cenderung bebas dan tak mengenal etika. Menurut hasil survei yang diterima lembaga tersebut, 63 persen remaja di Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Ironisnya, 21 persen di antaranya dilaporkan melakukan aborsi.
Persentase remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data penelitian pada tahun 2005-2006 di kota-kota besar, seperti, Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar, angka itu sempat berada pada kisaran 47,54 persen. Akan tetapi, hasil survei terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen.
Hasil survei di atas seharusnya cukup membuat seluruh bangsa Indonesia terhenyak. Betapa tidak, hasil survei tersebut berarti menunjukkan bahwa lebih dari separuh remaja SMP dan SMA di bumi Indonesia ini telah melakukan perbuatan amoral sangat berat, yang sudah barang tentu amat bertentangan dengan norma agama dan norma sosial. Padahal kita ini adalah negara Timur yang sangat mengedepankan sopan-santun dan harga diri. Berdasarkan hasil tersebut, berarti kita tak ada bedanya dengan negara-negara Barat yang telah lama menganut ‘kebebasan’ di setiap lini kehidupan mereka. Salah satu sumber yang penulis temukan mengatakan bahwa di Barat anak putri yang umurnya kurang dari lima belas tahun rata-rata sudah tidak perawan lagi. Hal tersebut disebabkan oleh kebebasan mereka dalam menjalani hidup ini dan moral mereka sudah bobrok.
Remaja menerima banyak sekali rangsangan dari luar yang menstimulus perilaku seksual mereka, antara lain, pengaruh pergaulan bebas, faktor lingkungan, keluarga yang kurang memberikan pendidikan seks, dan pengaruh media massa. Akibatnya, terjadi pergeseran perilaku pacaran di kalangan remaja dewasa ini. Dulu, berpacaran hanya dilakukan dengan berpegangan atau bergandengan tangan. Akan tetapi sekarang, pacaran tanpa rabaan, ciuman, dan belaian, sering disebut bukan pacaran.
Tingkat kematangan reproduksi remaja saat ini, memang berbeda dengan dulu. Dulu, seorang remaja putri mungkin baru memperoleh menstruasi pada usia 12 tahun. Akan tetapi kini, usia 9-10 tahun sudah menstruasi. Selain karena faktor gizi yang semakin baik, tingkat kematangan ini terjadi karena begitu banyak stimulus dari luar yang diterima oleh generasi muda, seperti tayangan-tayangan di televisi, menjamurnya situs-situs porno di internet, buku porno, blue film, dan lain-lain.
Kita harus mengakui bahwa pada masa remaja seseorang tidak lagi bisa dianggap anak kecil, tetapi juga belum pantas dianggap telah dewasa. Acapkali pada usia seperti ini seorang anak menunjukkan sikap-sikap yang mengejutkan. Sikap mengejutkan itu adalah berupa sikap memberontak dan menolak hal-hal yang selama ini menjadi rutinitas mereka. Secara seksual mereka juga tengah menuju kematangan, sehingga harus diawasi dan diikuti perkembangannya dengan seksama. Yang paling penting dalam perkembangan pada usia remaja ini, mereka juga tengah mencari identitas diri dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh idola. Dengan kata lain, mereka akan meniru apa pun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh idola mereka, contoh konkretnya adalah artis-artis yang berseliweran muncul di televisi. Pada masa pencarian jati diri ini, bila tidak mendapatkan bimbingan yang memadai, seorang anak akan menyerap nilai-nilai yang salah.
Untuk mengatasi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang salah. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Nilai moral dan budi pekerti merupakan fondasi utama perilaku baik yang dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya. Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat mengatasi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
Usaha yang efektif untuk mencegah ketidaktahuan mereka terhadap kehidupan seksual adalah dengan edukasi (pendidikan). Edukasi adalah langkah yang paling efektif untuk diberikan kepada remaja karena remaja merupakan cikal bakal generasi berikutnya. Para orang tua seharusnya dapat memberikan edukasi yang baik, jelas, dan tepat kepada para anaknya agar mereka betul-betul paham mengenai persoalan ini. Para orang tua pun harus dapat mencari cara-cara edukasi yang efektif agar topik yang disampaikan dapat mengena di hati mereka. Salah satu caranya adalah orang tua harus siap menjadi tempat curahan hati (curhat) mereka di kala mereka gundah gulana dan juga memberikan pemahaman-pemahaman positif agar mereka tidak melakukan perbuatan yang negatif.
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 14 April 2009

10 April 2009

Mengenal Seluk-beluk Bandung


Mengenal Seluk-beluk Bandung
Judul : Made in Bandung
Penulis : Sherly A. Suherman
Penerbit : Mizan, Bandung
Tebal : 240 halaman
Cetakan : Pertama, Januari 2009
Bandung merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Berdasarkan sumber data yang saya temukan dari sumber yang berkompeten di bidangnya, Bandung merupakan kota ke-4 terbesar di bumi Nusantara ini, setelah Jakarta, Medan, dan Surabaya. Kota ini telah menyedot ribuan pasang mata karena berbagai ‘suguhan’ yang telah disajikannya. Bandung menyajikan ‘suguhan’ yang telah membuat warga luar Bandung menjadi terkesima. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, mulai dari udaranya yang sejuk; warganya yang ramah; harga sepatu, sandal, dan pakaian yang murah; sampai kepada alasan bahwa para wanita (mojang)-nya yang cantik-cantik. Semua itu telah menjadi daya tarik tersendiri bagi warga luar daerah untuk berkunjung ke kota Bandung ini.
Dalam perkembangannya, Bandung memang sudah sejak lama dikenal, sejak kota ini dibangun sebagai kota istirahat dan kota wisata. Sejalan dengan perkembangan pada awal abad ke-20 sampai sekarang, kota Bandung benar-benar mengalami pembangunan di segala sektor kehidupan. Fungsi kota Bandung pun bertambah. Bandung menjadi pusat pendidikan, pusat perekonomian, pusat seni dan budaya, serta dikembangkan menjadi kota jasa. Sekarang ini, Bandung sedang diciptakan sebagai “Kota Kreatif se-Asia” dengan ekonomi yang berbasis kreatif dan ide.
Dalam buku ini, Sherly A. Suherman mengungkapkan bahwa pencanangan visi Bandung sebagai kota kreatif sangatlah beralasan. Pada pertemuan di Yokohama, Jepang, akhir Juli 2007, Bandung mendapat kesempatan sebagai pilot project Kota Kreatif se-Asia Timur. Pemilihan ini berdasarkan program United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang sedang memperkenalkan program The Creative Cities Network pada Oktober 2004. Melalui program ini, UNESCO menjajaki kota-kota di dunia yang memiliki sumber daya kreativitas.
Jika mendengar kata “kreatif”, Bandung bisa disebut sebagai kota “cikal-bakal” dari segala kegiatan anak muda yang kreatif. Kreativitasnya memengaruhi tren anak muda di berbagai kota, mulai dari hobi, pengetahuan, seni, dan budaya yang dapat menghasilkan sebuah keindahan, kepuasan, dan pendapatan, baik yang tradisional maupun yang modern.
***
Pada halaman 14-15 dalam buku ini, Sherly menulis begini, Bandung telah menyandang beberapa julukan, antara lain, The Most European City in the East Indies, Paradise in Exile (1750-an), Bandung Excelcior (1856), The Sleeping Beauty (1884), De Bloem der Indische Bergsteden (1896), Parijs Van Java (1920), Bandung The Garden of Allah (1921), Intelectuele Centrum Van Indie (1923), Europe in de Tropen (1930), Kota Pensiunan (1936), Kota Permai (1950), Kota Kembang (1950-an), Kota Konferensi, Kota Pendidikan, dan Ibukota Asia Afrika (1950).
Namun, kini beberapa julukan tersebut kiranya sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan yang sebenarnya di lapangan. Julukan Bandung sebagai Kota Kembang pun konon bukan karena Kota Bandung penuh dengan taman bunga, melainkan karena mojang-mojang (gadis-gadis) Bandung dikenal cantik dan menarik hati, seperti kuntum bunga yang mekar. Adapun mengenai julukan Paradise in Exile, De Bloem der Indische Bergsteden, Parjis Van Java, atau Bandung The Garden of Allah mungkin sekarang pun sudah tidak relevan. Pohon-pohon besar dan udara yang benar-benar sejuk hampir tidak dapat kita temui lagi di kota ini, kecuali di beberapa ruas jalan, seperti, Jalan Ganesha dan sekitar Jalan Taman Lalu Lintas.
***
Sekitar 1990-an, di Bandung mulai bermunculan factory outlet (FO), distro (clothing), indie band atau musik underground, dan Dago sebagai tempat hangout anak muda Bandung pada malam Minggu. Kafe-kafe dadakan berdiri di sepanjang Jalan Dago, dengan diiringi pemusik ‘dadakan’ pula, seperti, para mahasiswa, siswa, dan lain-lain, sehingga kita bisa menikmati malam Minggu dengan sangat menyenangkan.
Begitu banyak sebutan untuk Bandung yang menyimpan berjuta pesona, keindahan, dan kedamaian. Made in Bandung mengungkap hal lain tentang Bandung yang dikenal dengan Parijs van Java.
Buku ini memuaskan para pembaca mengenai sejarah Bandung dan fasilitas-fasilitas yang disediakan olehnya, terutama untuk para pengunjungnya. Dalam sejarah Bandung, akan dibahas mulai dari cikal-bakal Bandung dahulu sampai berkembang dan maju seperti sekarang ini, lalu mendeskripsikan bangunan-bangunan bersejarah, dan lain-lain. Adapun fasilitas-fasilitas yang disajikan Bandung adalah mulai dari menyajikan tempat nongkrong yang strategis bagi masyarakat sampai kepada menjelaskan rute kendaraan yang siap membantu para pembaca mengitari.
Buku ini berfungsi lebih tepatnya sebagai guide bagi para pengunjung dalam menikmati suasana Kota Bandung karena dilengkapi dengan pendeskripsian berbagai tempat yang dapat dijadikan referensi untuk para pengunjung tersebut. Dengan membaca buku ini, diharapkan dapat mempermudah para pengunjung luar daerah dalam menikmati suasana kota ini.
***

07 April 2009

Mengasah Kreativitas Mahasiswa


Mengasah Kreativitas Mahasiswa Selama Kuliah
Judul : Dapat Apa Sih dari Universitas?
Penulis : Romi Satria Wahono
Editor : Suherman, M.Si., Deny Riana, dan Inayati Ashriyah
Penerbit : Zip Books
Tahun terbit : Cetakan I, Februari 2009
Tebal : xvi + 220 halaman
Dapat Apa Sih dari Universitas? Judul tersebut sungguh menarik. Judul buku ini diawali dengan suatu pertanyaan yang sangat menyentakkan. Judul tersebut seolah-olah menyatakan keragu-raguan dan ketidakyakinan terhadap kualitas lulusan dari universitas, terutama kualitas lulusan universitas di bumi Nusantara ini.
Sebagaimana telah diketahui dari berbagai media massa bahwa banyak sekali penganggur yang berasal dari kalangan kampus. Padahal, notabene-nya kampus adalah tempat para pemikir (ilmuwan). Mahasiswanya adalah ‘pembawa’ perubahan (agent of change) dan para penerus bangsa Indonesia tercinta ini. Akan tetapi, faktanya berkata lain. Kebanyakan dari mereka justru tak ‘kebagian’ di dunia pekerjaan dewasa ini. Fenomena itu mengkhawatirkan sekali.
Menurut saya, permasalahan yang ada pada mereka itu (penganggur dari kalangan kampus) adalah terletak pada kreativitas mereka. Kebanyakan dari mereka itu tidak mempunyai sebuah ‘jiwa kekreatifan’ dalam menjalani hidup yang ‘sebenarnya’, yaitu di dunia pekerjaan.
Andai saja mereka mempunyai ‘ide-ide gila’, misalnya, membuat usaha sendiri, menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang lain dengan membuka bimbingan belajar atau usaha-usaha lainnya, maka sudah barang tentu mereka takkan khawatir ketika keluar dari kampusnya, mendapatkan titel sarjana. Intinya, setelah keluar dari kampus – camkan dalam diri mahasiswa – mereka bukan mencari pekerjaan pada orang lain, melainkan menciptakan pekerjaan untuk orang lain. Dengan begitu, tak terbayangkan lagi oleh kita para penganggur akan semakin berkurang dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan bahkan, dari tahun ke tahun. Dengan cara seperti itu pula berarti mahasiswa telah membantu pemerintah dalam mengentaskan pengangguran.
Kreativitas-kreativitas itu sebaiknya dikembangkan oleh setiap orang semenjak mereka duduk di bangku sekolah sampai kuliah di dunia kampus. Yang utama adalah ketika seseorang duduk di bangku kuliah. Alasannya apa? Karena di kampus jam kuliah lebih santai dibandingkan dengan ketika duduk di bangku SMA, SMP, dan bahkan, SD. Di kampus para mahasiswa lebih ditekankan untuk mengembangkan ilmunya secara sendiri, sedangkan dosennya hanya sebagai fasilitator, tempat berkonsultasi, dan lain-lain. ‘Kesempatan’ itulah sebaiknya digunakan para mahasiswa untuk mengembangkan soft skill mereka masing-masing, misalnya mengikuti pelatihan-pelatihan, mempertajam bahasa Inggris, mengasah terus dunia komputerisasi, bergelut di berbagai organisasi, dan keahlian-keahlian lainnya.
Mas Romi mengungkapkan dalam bukunya ini, dalam setiap tempat mencari ilmu seperti halnya sekolah-sekolah, kampus, dan lembaga-lembaga pelatihan, mempunyai tujuan untuk meningkatkan lima hal, sebagai berikut: knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), technique (teknik), attitude (sikap), dan experience (pengalaman).
Di dalam buku ini, Romi Satria Wahono mengkomparasikan suasana pendidikan di kampus-kampus Nusantara dengan tempat kuliahnya dulu di Jepang. Kata Mas Romi, orang Jepang dan orang Indonesia sungguh jauh berbeda, terutama dalam hal membaca buku. Di Jepang setiap orang selalu membawa buku ke mana-mana. Adapun di Indonesia sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sungguh sulit melihat orang yang selalu membawa buku ke mana-mana.
Buku ini boleh dibilang buku yang ditujukan untuk para entrepreneur, tepatnya untuk para mahasiswa yang mengambil ‘usaha sampingan’ sebagai entrepreneur di masa-masa kuliahnya. Di dalam buku ini akan diungkap mengenai kreativitas sebagai sebuah proses yang dipraktikkan. Di dalamnya juga akan disajikan ‘software-software’ tertentu yang akan menambah kilauan jiwa dan ruh dalam setiap kehidupan.
Buku ini sangat tepat dibaca oleh para pelajar, baik mahasiswa maupun siswa dalam mengembangkan soft skill yang telah dimiliki selama ini sehingga mempunyai ‘nilai jual’ yang tinggi, terutama dalam bidang IT. Walaupun pembahasannya mengenai dunia IT yang lumayan rumit, buku ini ditulis dengan bahasa sederhana ala Mas Romi sehingga yang rumit itu dapat dipahami dengan sangat mudah.
Sungguh menarik komentar dari sang editor buku Dapat Apa Sih dari Universitas?, Suherman, M.Si., di dalam kata pengantarnya. Beliau berkata begini, kesederhanaan adalah kata yang terasa sangat pas mewakili keberwujudan Mas Romi, baik di dalam nyata maupun di alam maya. Bahasa kesederhanaan ini sering beliau pakai pada setiap show dalam ‘keluyuran ilmiah’-nya maupun dalam tulisannya di alam maya.
***
Dimuat di Harian Umum Galamedia, 27 April 2009

06 April 2009

Pendidikan Spiritual Korupsi

Pendekatan Spiritual Korupsi
Belakangan ini berita tentang korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan semakin banyak berseliweran. Berita-berita tentang perbuatan haram tersebut seringkali ‘mengudara’ di berbagai media massa yang beredar di masyarakat, baik itu media cetak maupun media elektronik.
Dengan bergulirnya waktu, telah dirasakan bahwa Indonesia bukannya berkembang menuju arah yang lebih baik melainkan berkembang ke arah yang lebih buruk. Korupsi merajalela di mana-mana, di lembaga pemerintahan, lembaga peradilan, bahkan yang sangat mencengangkan adalah korupsi pun terjadi di Departemen Agama RI yang notabene-nya merupakan orang-orang yang ‘mengerti’ agama. Karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini, negara kita telah dinobatkan sebagai negara terkorup pertama di Asia pada tahun 2005.
Penulis melihat fenomena praktek korupsi di atas terjadi karena ada dua faktor, yaitu:
Pertama, faktor internal yaitu faktor yang timbul dari individu seseorang itu sendiri yang ‘serakah’ terhadap kebutuhan duniawi dan juga ingin memperoleh kekayaan melalui jalan pintas, tanpa banyak usaha lagi. Masalah individu inilah yang menjadi permasalahan utama. Praktek korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai moral yang dapat mencegah praktik korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai moral yang berintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh. Intinya, korupsi tidak akan terlaksana oleh seseorang bila seseorang tersebut memiliki kekuatan moral yang kokoh untuk menangkal praktek haram tersebut.
Sedangkan yang kedua, faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar pribadi koruptor (masalah sistem), misalnya hukuman bagi para koruptor selama ini yang tak tegas (ringan) dapat membuat mereka ‘ketagihan’ dalam melakukan aksinya, sehingga membuat mereka tak takut akan hukuman yang dijatuhi kepadanya. Adapula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa korupsi itu merupakan suatu hal yang biasa. Mereka menilai korupsi bukan hal yang tabu lagi. Semua itu menjadi faktor seseorang akan melakukan aksi korupsinya.
Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crime karena telah merusak, tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah menghancurleburkan sendi-sendi sosio-budaya, moral, politik, dan tatanan hukum serta keamanan nasional. Oleh karena itu, pemberantasannya tidak bisa hanya dilakukan oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial, tetapi harus dilaksanakan secara komprehensif oleh kita bersama (oleh aparat berwenang, masyarakat, mahasiswa, dan lain-lain).
Untuk memberantas polemik ini haruslah dengan menggunakan pendekatan spiritualistik, yaitu dengan menanamkan konsep-konsep yang bersifat spiritual, dengan menanamkan rasa takut kepada Tuhan dan azab-azab-Nya kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga dirinya dapat menghindari untuk melakukan praktik korupsi tersebut. Sama halnya dengan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di bangku kuliah saat ini. Pemahaman terhadap agama harus dikuasai semenjak dini dengan kuat agar dapat membawa ‘diri pribadi’ pada saat bergelut di dunia kerja kelak. Tindakan-tindakan korupsi selama ini diharapkan dapat dijadikan bahan pelajaran bagi mahasiswa agar pada masa depan, ketika memimpin bangsa nanti, tidak melakukan korupsi seperti yang terjadi selama ini. Generasi muda harus dijauhkan dari pengaruh korupsi.
***

Globalisasi Merusak Moral Remaja

Globalisasi Merusak Moral Remaja
Sungguh sangat menarik ketika membaca liputan di Harian Bandung Ekspres Edisi Rabu, 11 Februari 2009 kemarin pada halaman 13. Tulisan itu berjudul ‘Tolak Kalau Diajak ML’. Pada awal tulisan itu ditulis begini, “Memperhatikan pergaulan remaja, apalagi remaja putri, bukan melulu menjadi masalah sepihak, namun itu menjadi masalah semua pihak”. Memang benar, pergaulan remaja adalah masalah kita bersama. Moral remaja – apalagi pada era modernisasi dan globalisasi seperti ini – sangat harus diperhatikan. Jika terpeleset, maka lambat laun moralnya akan berbahaya.
Dalam kondisi masa kini yang ditandai dengan modernisasi dan globalisasi seperti ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini – khususnya generasi muda – berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Remaja bangsa ini sekarang banyak yang telah meninggalkan budaya asli Indonesia yang selalu mengedepankan adat ketimurannya.
Dahulu adat ketimuran ini dipegang sangat erat oleh masyarakat Indonesia – terutama oleh orang pedesaan. Akan tetapi, sekarang pola pikir masyarakat Indonesia telah bergeser menuju kebarat-baratan. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh globalisasi yang menerpa para generasi muda Indonesia masa kini, seperti melalui internet, handphone, televisi, dan lain-lain.
Penulis menilai bahwa arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh, internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah para penikmat ’aksesoris-aksesoris’ era modernisasi ini kebanyakan melakukan hal-hal yang sebagaimana diungkapkan di atas. Yang membuat hati semua masyarakat Indonesia miris lagi, objeknya adalah para remaja, sang penerus bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Para remaja bukannya ’disibukkan’ untuk menuntut ilmu dalam meneruskan pembangunan bangsa ke depan, melainkan disibukkan dengan menikmati ’hiburan-hiburan’ yang tersaji pada era globalisasi sekarang ini, seperti handphone, televisi, dan lain-lain. Bahkan, ’hiburan-hiburan’ yang bersifat negatif pun mereka terima dan nikmati. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan memorak-porandakan negara ini dalam waktu beberapa saat lagi.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial karena pola konsumsi seseorang itu terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki ‘pasar remaja’. Jadi sering sekali kita lihat di televisi-televisi bahwa intensitas acara remaja itu lebih banyak daripada acara kalangan usia lain.
Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah identifikasi (peniruan dan penyeragaman) dalam suatu kelompok. Untuk itu, mereka biasanya membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh. Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh. Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan lain-lain.
Penulis akan memberikan contoh pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap moral remaja dewasa ini. Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap perilaku seseorang telah dibuktikan lewat penelitian ilmiah. Seperti diungkapkan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 1995 bahwa tayangan yang bermutu akan memengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan, penelitian itu menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka terima dari media semenjak usia anak-anak.
Sebuah penelitian tentang pergaulan remaja di kabupaten Bandung memberikan informasi kepada kita bahwa sekitar 40 % remajanya sudah pernah berciuman dengan pasangannya. Sedangkan 60 % remaja Bandung pernah bersentuhan dengan teman lawan jenisnya. Dalam hal ini seperti berpegangan tangan, dan lain-lain. Kemudian sekitar 25 % dari data itu sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hasil penelitian tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita semua, mengingat kabupaten Bandung belumlah menjadi daerah yang modern seperti halnya kota Bandung.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya.
Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat menanggulangi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
***

Globalisasi Merusak Moral Remaja

Globalisasi Merusak Moral Remaja
Sungguh sangat menarik ketika membaca liputan di Harian Bandung Ekspres Edisi Rabu, 11 Februari 2009 kemarin pada halaman 13. Tulisan itu berjudul ‘Tolak Kalau Diajak ML’. Pada awal tulisan itu ditulis begini, “Memperhatikan pergaulan remaja, apalagi remaja putri, bukan melulu menjadi masalah sepihak, namun itu menjadi masalah semua pihak”. Memang benar, pergaulan remaja adalah masalah kita bersama. Moral remaja – apalagi pada era modernisasi dan globalisasi seperti ini – sangat harus diperhatikan. Jika terpeleset, maka lambat laun moralnya akan berbahaya.
Dalam kondisi masa kini yang ditandai dengan modernisasi dan globalisasi seperti ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini – khususnya generasi muda – berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Remaja bangsa ini sekarang banyak yang telah meninggalkan budaya asli Indonesia yang selalu mengedepankan adat ketimurannya.
Dahulu adat ketimuran ini dipegang sangat erat oleh masyarakat Indonesia – terutama oleh orang pedesaan. Akan tetapi, sekarang pola pikir masyarakat Indonesia telah bergeser menuju kebarat-baratan. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh globalisasi yang menerpa para generasi muda Indonesia masa kini, seperti melalui internet, handphone, televisi, dan lain-lain.
Penulis menilai bahwa arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh, internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah para penikmat ‘aksesoris-aksesoris’ era modernisasi ini kebanyakan melakukan hal-hal yang sebagaimana diungkapkan di atas. Yang membuat hati semua masyarakat Indonesia miris lagi, objeknya adalah para remaja, sang penerus bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Para remaja bukannya ‘disibukkan’ untuk menuntut ilmu dalam meneruskan pembangunan bangsa ke depan, melainkan disibukkan dengan menikmati ‘hiburan-hiburan’ yang tersaji pada era globalisasi sekarang ini, seperti handphone, televisi, dan lain-lain. Bahkan, ‘hiburan-hiburan’ yang bersifat negatif pun mereka terima dan nikmati. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan memorak-porandakan negara ini dalam waktu beberapa saat lagi.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial karena pola konsumsi seseorang itu terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki ‘pasar remaja’. Jadi sering sekali kita lihat di televisi-televisi bahwa intensitas acara remaja itu lebih banyak daripada acara kalangan usia lain.
Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah identifikasi (peniruan dan penyeragaman) dalam suatu kelompok. Untuk itu, mereka biasanya membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh. Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh. Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan lain-lain.
Penulis akan memberikan contoh pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap moral remaja dewasa ini. Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap perilaku seseorang telah dibuktikan lewat penelitian ilmiah. Seperti diungkapkan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 1995 bahwa tayangan yang bermutu akan memengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan, penelitian itu menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka terima dari media semenjak usia anak-anak.
Sebuah penelitian tentang pergaulan remaja di kabupaten Bandung memberikan informasi kepada kita bahwa sekitar 40 % remajanya sudah pernah berciuman dengan pasangannya. Sedangkan 60 % remaja Bandung pernah bersentuhan dengan teman lawan jenisnya. Dalam hal ini seperti berpegangan tangan, dan lain-lain. Kemudian sekitar 25 % dari data itu sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hasil penelitian tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita semua, mengingat kabupaten Bandung belumlah menjadi daerah yang modern seperti halnya kota Bandung.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya.
Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat menanggulangi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
***
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 12 Februari 2009

05 April 2009

Hebron Journal, Mencari Damai Tanpa Kekerasan


Memperjuangkan Perdamaian Tanpa Kekerasan 
Israel kembali melakukan agresi militernya ke Palestina pada akhir tahun 2008 lalu, tepatnya pada Sabtu, 27 Desember 2008. Israel berdalih serangan itu dilakukan untuk melakukan pembalasan terhadap Pasukan Hamas yang menyerang mereka. Serangan dilakukan dengan begitu gencarnya ke kubu Palestina tanpa pandang bulu. Wilayah seluas 40 kali 10 kilometer itu basah oleh darah dan tangis warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Perseteruan keduanya memang tak pernah usai. Sejak dulu yang terjadi di sana hanya baku hantam, perang peluru, lempar batu, dan akhirnya korban pun berjatuhan. Ini sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya bahwa agama Islam, Yahudi, dan Nasrani, takkan pernah akur.
***
Foto Arthur G. Gish berdiri menghadang sebuah tank Israel dengan jarak tidak sampai satu meter itu begitu terkenal, sampai-sampai membuat gempar masyarakat muslim di Athens, sebuah kota kecil di bagian tenggara negara bagian Ohio, Amerika Serikat. Peristiwa 30 Januari lima tahun silam itu bermula ketika tentara menggusur pasar Palestina di Hebron, Tepi Barat. 
Arthur G. Gish, anggota Christian Peacemaker Teams asal Amerika Serikat itu mencoba menghalangi pengusiran tersebut meski harus berhadapan dengan mesin perang yang sangat menakutkan itu. Tak tanggung-tanggung, ia menghadang tank tersebut hingga moncong tank itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.
Ia melihat satu demi satu pemukiman Palestina dirobohkan untuk dibangun perumahan orang Israel. Gish mencoba membangkitkan semangat orang Palestina untuk memperjuangkan hak mereka dengan cara damai.
***
Christian Peacemaker Teams dibentuk pada pertengahan 1980-an ketika jemaat gereja perdamaian mencari cara baru untuk mengekpresikan keyakinan mereka. CPT merupakan sebuah kegiatan swadaya masyarakat dan sebagian besar dukungannya datang dari para anggota gereja, kongregasi, dan berbagai pertemuan.
Dalam kata pengantarnya, Gene Stoltzfus, Direktur Christian Peacemaker Teams mengatakan bahwa perang rakyat telah pecah di berbagai tempat, termasuk di Amerika Tengah dan Amerika Utara, pemerintah AS berkali-kali dihubung-hubungkan dengan kelompok-kelompok elite dari sistem pemerintahan opresif yang ketinggalan zaman. Pada periode itu, muncul suatu kesadaran bahwa dengan menggunakan tenaga kreatif antikekerasan, orang-orang biasa mampu berdiri menghadang senjata dan mendorong cara-cara yang tidak menggunakan kekerasan agar terjadi perubahan.
Seruan awal untuk dibentuknya CPT ini didasari oleh dorongan kitab Injil untuk secara kreatif menjalankan layanan kepada umum dan untuk mencintai musuh dalam Semangat Yesus. Gereja-gereja perdamaian telah membawa hadiah penting berupa penolakan sepenuhnya untuk membunuh dalam situasi-situasi konflik. 
Gish tumbuh besar dalam lingkungan gereja yang menganut paham pasifis atau paham mutlak antikekerasan. Paham ini menolak secara tegas segala bentuk kekerasan. Maka dari itu, dengan segenap kemampuannya dia turut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan memelihara perdamaian dunia dengan bergabung di CPT, seperti berangkat ke wilayah konflik Israel-Palestina. Dia telah pergi ke sana sebanyak 13 kali semenjak tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
Tujuan utama kegiatan yang dilakukan CPT ini adalah mendorong upaya-upaya perdamaian di tempat-tempat yang tengah konflik. Kegiatannya antara lain: mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tentara pendudukan, mendampingi keluarga-keluarga yang mencari anggota keluarga mereka yang hilang, dan lain-lain.
Kegiatan yang telah dilakukan Arthur G. Gish dan organisasi perdamaiannya, Christian Peacemaker Teams, mengingatkan saya dengan sesuatu yang telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India pada pertengahan abad yang lalu. Keduanya memiliki kesamaan. Antara Gandhi dan Arthur Gish dkk sama-sama berjuang untuk perdamaian dengan cara tanpa kekerasan. Gandhi memperjuangkan kemanusiaan dengan konsep Ahimsa (tanpa kekerasan). Melalui perjuangannya, kasta Sudra yang sebelumnya dikucilkan, mulai mendapat perlakuan yang lebih manusiawi. Ia juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang sebelumnya sangat tertindas di India. Melalui perjuangannya yang kenal lelah, akhirnya India memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Selain Gandhi, kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh CPT sama juga dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Martin Luther King, Jr. dan Gerakan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat dan revolusi antikekerasan besar-besaran pada tahun 1989.
Pengalaman Arthur G. Gish menjadi sukarelawan penjaga perdamaian di kawasan paling panas seperti itu ditulisnya dalam Hebron Journal: Stories of Nonviolent Peacemaking. Buku ini adalah sebuah catatan harian Gish sewaktu dia hidup bersama-sama warga Palestina dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001.
Catatan selama enam tahun sampai Januari 2001 ketika hidup di tengah pemukiman warga Palestina itu disusunnya dengan sangat menarik, dari yang lucu, mengharukan, menyedihkan, sampai tragis. Kesaksian Gish yang ada dalam bukunya ini lebih ditandai dengan dengan kejujuran dan ketulusan hati daripada kecanggihan akademik. Kesaksiannya ini pula telah memberi gambaran dari dekat kepada para pembaca mengenai situasi mengerikan yang telah “melampaui realitas”.
***
Keterangan:
Judul : Hebron Journal
Penulis : Arthur G. Gish
Penerjemah : Winny P., Anna F., dan Septina F
Penerbit : Mizan, Bandung
Tebal : 550 halaman
Cetakan : I, Juli 2008

Buku dan Dunia Remaja

Buku dan Dunia Remaja
Dunia perbukuan Indonesia beberapa tahun belakangan ini, tepatnya tahun 2000-an, ‘dikayakan’ oleh cerita rekaan (fiksi) yang menceritakan tentang seluk-beluk kehidupan dunia remaja. Jenisnya beragam, antara lain, roman picisan, novel remaja, dan teenlit (teenagers literature). Akan tetapi, tema yang diangkat dalam karya-karya yang merebak marak tersebut hanya didominasi oleh tema percintaan (baca: pacaran) saja, seperti, yang dibumbui dengan kisah-kisah PDKT, ‘jadian’ dengan sang pujaan hati, putus, nyambung, dan bahkan, (maaf) disertai pendeskripsian adegan pegangan serta ciuman yang menuju ke arah pengrusakan moral. Selain adegan percintaan, novel-novel remaja yang beredar kini kebanyakan menawarkan mimpi tentang gaya hidup anak muda perkotaan sebagai ukuran keberhasilan dalam berbagai hal tentang dunia modern (Majalah Annida, edisi No.3/XVII, 1-30 November 2007).
Jakarta sentris menjadi satu-satunya idiom yang mereka gumuli habis-habisan, sebab berbanding lurus dengan gaya hidup anak muda perkotaan di Amerika (yang dibawa oleh para penulis novel remajanya). Akibatnya, para penulis, terutama teenlit, tidak mampu berkelit dari kedangkalan ide, konflik, plot, dan pilihan kata: bahwa dunia remaja adalah dunia gampangan: gampang ciuman, gampang hamil, gampang putus asa, gampang buang, dan seterusnya.
Fenomena di atas sangatlah disayangkan mengingat bahwa usia anak-anak sampai usia remaja sebaiknya disuguhkan hal-hal yang bersifat mendidik, bukannya hal-hal percintaan yang tidak mendidik seperti itu. Hal ini disebabkan oleh, dilihat dari sisi psikologis, karakteristik usia remaja adalah meniru (imitasi) sesuatu yang menurut mereka benar, walaupun itu salah menurut norma.
Akan tetapi, fenomena yang kita saksikan sekarang ini sungguh sangat jauh berbeda dari harapan yang diinginkan. Ternyata, para remaja sangat menggemari karya-karya yang penulis sebutkan di atas (novel-novel remaja). Mereka tidak tahu-menahu keburukan dengan membaca karya-karya seperti itu. Salah satu contoh, Penerbit Gramedia menerbitkan teenlit sejak awal tahun 2004. Judul novel pertama teenlit kebetulan masih yang produk terjemahan, yaitu Stargirl karya Jerry Spinelli. Diberi label ‘teenlit’ karena waktu itu mereka ingin menciptakan tren saja. Kebetulan tahun sebelumnya (2003) mereka sukses dengan label ‘chicklit’. Ternyata teenlit pun sukses. Melihat dari jumlah oplah buku-buku teenlit tersebut, bisa dibilang respon pembaca sangat bagus.
Mengapa karya-karya seperti itu diminati?
Penulis menilai bahwa penyebabnya ada beberapa hal, antara lain, bahasa yang digunakan dalam karya-karya tersebut cenderung ringan, renyah, gurih, dan sangat mudah dicerna oleh para pembacanya. Hal ini disebabkan oleh para penulisnya sendiri didominasi oleh para remaja juga. Asma Nadia mengatakan, “Menurut saya, ini karena pengarang-pengarangnya remaja juga, bahasanya ya bahasa mereka, sehingga mereka bisa merepresentasikan dunia remaja itu lebih baik, tidak perlu “meminjam kacamata” siapapun”. Bila melihat karya-karya (novel-novel) yang menggunakan bahasa-bahasa yang ‘berat’ dan sangat susah untuk dicerna, para pembaca remaja justeru ‘menjauh’ untuk tidak membacanya.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda lainnya.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki ‘pasar remaja’. Jadi, seringkali kita saksikan acara-acara di televisi bahwa intensitas acara untuk remaja itu lebih banyak daripada acara kalangan usia lain. Begitu halnya juga dengan dunia perbukuan dewasa ini, buku-buku yang menceritakan tentang kehidupan remaja lumayan digandrungi oleh para pembaca remaja.
Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah identifikasi (peniruan) dalam suatu kelompok. Mereka meniru apa saja yang menurut mereka baik, walaupun tidak sesuai dengan norma sosial dan norma agama. Karenanya mereka wajib membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh dalam tingkah laku mereka sehari-hari. 
Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh oleh mereka. Coba saja kita lihat di televisi dan bahkan, di buku, tema-tema yang diangkat dalam acara-acara televisi dan dalam buku-buku remaja tersebut didominasi oleh adegan-adegan percintaan. Maka dari itu, kita tak usah heran lagi mengapa moral remaja Indonesia dewasa ini menurun dari tahun ke tahun. Moral bangsa Indonesia kini, terutama para remaja, boleh saya katakan sangat bobrok. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negatif yang ‘diterima’ oleh para remaja dari berbagai media, baik media cetak (surat kabar, buku, dan lain-lain) maupun media elektronik (televisi, internet, dan lain-lain), semakin meningkat dari hari ke hari.
Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan lain-lain.
***
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 15 Maret 2009