05 April 2009

Buku dan Dunia Remaja

Buku dan Dunia Remaja
Dunia perbukuan Indonesia beberapa tahun belakangan ini, tepatnya tahun 2000-an, ‘dikayakan’ oleh cerita rekaan (fiksi) yang menceritakan tentang seluk-beluk kehidupan dunia remaja. Jenisnya beragam, antara lain, roman picisan, novel remaja, dan teenlit (teenagers literature). Akan tetapi, tema yang diangkat dalam karya-karya yang merebak marak tersebut hanya didominasi oleh tema percintaan (baca: pacaran) saja, seperti, yang dibumbui dengan kisah-kisah PDKT, ‘jadian’ dengan sang pujaan hati, putus, nyambung, dan bahkan, (maaf) disertai pendeskripsian adegan pegangan serta ciuman yang menuju ke arah pengrusakan moral. Selain adegan percintaan, novel-novel remaja yang beredar kini kebanyakan menawarkan mimpi tentang gaya hidup anak muda perkotaan sebagai ukuran keberhasilan dalam berbagai hal tentang dunia modern (Majalah Annida, edisi No.3/XVII, 1-30 November 2007).
Jakarta sentris menjadi satu-satunya idiom yang mereka gumuli habis-habisan, sebab berbanding lurus dengan gaya hidup anak muda perkotaan di Amerika (yang dibawa oleh para penulis novel remajanya). Akibatnya, para penulis, terutama teenlit, tidak mampu berkelit dari kedangkalan ide, konflik, plot, dan pilihan kata: bahwa dunia remaja adalah dunia gampangan: gampang ciuman, gampang hamil, gampang putus asa, gampang buang, dan seterusnya.
Fenomena di atas sangatlah disayangkan mengingat bahwa usia anak-anak sampai usia remaja sebaiknya disuguhkan hal-hal yang bersifat mendidik, bukannya hal-hal percintaan yang tidak mendidik seperti itu. Hal ini disebabkan oleh, dilihat dari sisi psikologis, karakteristik usia remaja adalah meniru (imitasi) sesuatu yang menurut mereka benar, walaupun itu salah menurut norma.
Akan tetapi, fenomena yang kita saksikan sekarang ini sungguh sangat jauh berbeda dari harapan yang diinginkan. Ternyata, para remaja sangat menggemari karya-karya yang penulis sebutkan di atas (novel-novel remaja). Mereka tidak tahu-menahu keburukan dengan membaca karya-karya seperti itu. Salah satu contoh, Penerbit Gramedia menerbitkan teenlit sejak awal tahun 2004. Judul novel pertama teenlit kebetulan masih yang produk terjemahan, yaitu Stargirl karya Jerry Spinelli. Diberi label ‘teenlit’ karena waktu itu mereka ingin menciptakan tren saja. Kebetulan tahun sebelumnya (2003) mereka sukses dengan label ‘chicklit’. Ternyata teenlit pun sukses. Melihat dari jumlah oplah buku-buku teenlit tersebut, bisa dibilang respon pembaca sangat bagus.
Mengapa karya-karya seperti itu diminati?
Penulis menilai bahwa penyebabnya ada beberapa hal, antara lain, bahasa yang digunakan dalam karya-karya tersebut cenderung ringan, renyah, gurih, dan sangat mudah dicerna oleh para pembacanya. Hal ini disebabkan oleh para penulisnya sendiri didominasi oleh para remaja juga. Asma Nadia mengatakan, “Menurut saya, ini karena pengarang-pengarangnya remaja juga, bahasanya ya bahasa mereka, sehingga mereka bisa merepresentasikan dunia remaja itu lebih baik, tidak perlu “meminjam kacamata” siapapun”. Bila melihat karya-karya (novel-novel) yang menggunakan bahasa-bahasa yang ‘berat’ dan sangat susah untuk dicerna, para pembaca remaja justeru ‘menjauh’ untuk tidak membacanya.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda lainnya.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki ‘pasar remaja’. Jadi, seringkali kita saksikan acara-acara di televisi bahwa intensitas acara untuk remaja itu lebih banyak daripada acara kalangan usia lain. Begitu halnya juga dengan dunia perbukuan dewasa ini, buku-buku yang menceritakan tentang kehidupan remaja lumayan digandrungi oleh para pembaca remaja.
Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah identifikasi (peniruan) dalam suatu kelompok. Mereka meniru apa saja yang menurut mereka baik, walaupun tidak sesuai dengan norma sosial dan norma agama. Karenanya mereka wajib membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh dalam tingkah laku mereka sehari-hari. 
Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh oleh mereka. Coba saja kita lihat di televisi dan bahkan, di buku, tema-tema yang diangkat dalam acara-acara televisi dan dalam buku-buku remaja tersebut didominasi oleh adegan-adegan percintaan. Maka dari itu, kita tak usah heran lagi mengapa moral remaja Indonesia dewasa ini menurun dari tahun ke tahun. Moral bangsa Indonesia kini, terutama para remaja, boleh saya katakan sangat bobrok. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh-pengaruh negatif yang ‘diterima’ oleh para remaja dari berbagai media, baik media cetak (surat kabar, buku, dan lain-lain) maupun media elektronik (televisi, internet, dan lain-lain), semakin meningkat dari hari ke hari.
Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan lain-lain.
***
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar