25 Agustus 2009

Mengajar, Penembang Nasyid, dan Penulis


Profil M. Irfan Hidayatullah
Pengajar, Penembang Nasyid, dan Penulis
Nama : M. Irfan Hidayatullah
Tempat tanggal lahir: Tasikmalaya, 3 Maret 1973
Alamat : Jalan Bumi Sentosa 27 Perumahan Sentosa Asih Jaya Kelurahan Cipamokolan Kecamatan Rancasari Bandung
Pekerjaan : Dosen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Ketua Forum Lingkar Pena (2005-2009)
Istri : Dwi Siwi Retnoningsih
Anak : Izzati Husnul Amali
Ahmad Fawwaz Hidayatullah
"Saya memang menikmati karya sastra. Setidaknya, saat membacanya saya merasakan ada sebuah rasa muncul dalam jiwa. Sebuah rasa menjadi. Ya, rasa menjadi lebih kaya, rasa menjadi lebih ingin berpikir ulang, rasa menjadi lebih gelisah, rasa menjadi lebih banyak bertanya, dan rasa menjadi yang lainnya yang membuat saya tidak mau meranjak. Selain itu, saya juga penikmat proses kreatif bersastra. Setidaknya, saat saya mengalami proses persalinan sebuah cerpen. Ya, saya begitu menikmatinya dan bahkan mencermati proses itu yang kadang begitu rumit."
Itulah sekelumit pemikiran M. Irfan Hidayatullah yang ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Dapur Kreativitas Para Juara (DAR! Mizan, Desember 2003). Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan para penulis yang isinya menceritakan tentang suka-duka mereka dalam berselancar dengan dunia kepenulisan.
Selain menelusuri pemikirannya lewat tulisan-tulisannya, Bandung Ekspres juga berkesempatan untuk mewawancarainya langsung beberapa waktu lalu.
Dari pernyataan Irfan di dalam buku tersebut, dapat diketahui memang membaca tulisan (karya sastra) memiliki nilai tersendiri di dalam jiwa seseorang. Setidaknya, dengan membaca tulisan seseorang akan menjadi lebih berpikir mengenai sesuatu yang dibaca dalam tulisan tersebut.
Penulis juga yang menjabat sebagai Ketua Forum Lingkar Pena sejak tahun 2005 ini mulai menulis sejak kelas II SMP di salah satu sudut Kota Tasikmalaya. Tulisan pertama yang dihasilkannya berbentuk puisi. "Saya mulai menulis sejak kelas II SMP. Puisi itu untuk dikonsumsi sendiri," ujarnya saat diwawancarai Bandung Ekspres.
Akan tetapi, kata Irfan, setelah itu banyak temannya yang tahu bahwa dia suka menulis puisi. Bermula dari sana, banyak pula karya puisinya yang digemari oleh teman sejawatnya. Ada suatu cerita yang unik setelah puisinya digemari teman-temannya. Akhirnya itu pun menjadi objek bisnis yang menggiurkan baginya. Menulis bisa menjadi sumber penghasilan.
"Puisi-puisi itu saya jual kepada teman-teman seharga Rp 100 per puisi. Yang membeli biasanya teman laki-laki. Mereka biasanya ingin menghadiahi pacarnya dengan puisi-puisi," ujar Irfan sembari tertawa kecil mengenang masa lalunya.
Kegiatan menulisnya tak hanya sampai di sana, di sela-sela kesibukan menimba ilmu di tingkat SMA dan kuliah pun Irfan masih menyempatkan diri untuk menulis. Masa SMA Irfan mulai mengembangkan sayapnya dengan menulis cerita pendek (cerpen). Dunia kampus semakin membuat menggebu-gebu untuk selalu menulis, ditambah lagi dengan banyak pemikiran dari berbagai objek yang masuk ke dalam otaknya, mulai dari mulut dosen hingga buku-buku yang menghiasi perpustakaan kampus. Semua itu menjadi inspirasi tersendiri bagi Irfan dalam mengembangkan ide tulisannya.
Masa kuliahnya di Universitas Padjadjaran dihabiskan dengan membaca karya-karya sastra penulis ternama, seperti, Ahmad Tohari, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Selain itu, bapak dua anak ini aktif pula menulis artikel dan puisi atau syair (ini salah satu karya unggulannya). Tahun 1994, tepat di tahun keduanya kuliah, artikel pertamanya dimuat di surat kabar Mandala (sekarang tidak cetak lagi). Setelah itu, artike-artikelnya pun berkali-kali dimuat di media-media lainnya yang tersebar di seantero Kota Bandung.
Di samping menulis artikel, suami dari Dwi Siwi Retnoningsih ini juga menulis cerpen. Cerpen pertamanya yang berhasil naik cetak adalah kumpulan cerpen Merajut Cahaya (Syaamil). Irfan juga melebarkan sayap dunia yang telah membesarkan namanya itu dengan menulis novel. Novel pertamanya yang telah terbit adalah Dari Ruang Tunggu (2004). Tercatat, kini pria asli Tasikmalaya ini telah menulis 11 karya sendiri (novel dan antologi puisi) serta sekitar 25 karya berupa antologi dengan penulis-penulis lainnya. Beberapa syairnya pun termasuk dalam lirik-lirik Grup Nasyid Mupla. Irfan juga termasuk dalam personil grup nasyid yang terkenal di berbagai sudut Kota Bandung tersebut.
Aktivitas M. Irfan Hidayatullah sekarang beraneka ragam. Dia aktif menjadi dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung dan personil Grup Nasyid Mupla. Selain itu, beliau juga sedang aktif menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Kini dia tengah mengejar gelar doktor di kampus tersebut.

Bermula dari Tingginya Intensitas Membaca


PROFIL MUTHMAINNAH
Bermula dari Tingginya Intensitas Membaca
Nama : Muthmainnah atau May Moon
Nama asli : Maimon Herawati
Tempat tanggal lahir : Desa Palangki, Sumatera Barat, 13 Mei 1974
Pendidikan :
S1 Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
S2 (Master of Literature) dalam bidang kajian Islamic Jerussalem Studies di University of Abertay, Dundee, Scotland, United Kingdom
Penghargaan :
Penulis favorit pilihan pembaca SKI Annida pada tahun 1997
Cerpen "Operasi Flower Mossad" meraih hadiah hiburan dalam LMCPI III
Karya-karya :
Pingkan: Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1999)
Tembang di Padang (Syaamil, 2000)
Muara Kasih (Syaamil, 2001)
Rahasia Dua Hati (Syaamil, 2003)
Journey of the Hearts: Perjalanan Dua Hati (Sygma Publishing, 2008)
Memang, dalam kehidupan ini selalu ada sebab-akibat. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan keberadaannya, atau bagaikan kopi tanpa gula. Jika tak ada salah satu, maka itu dapat dirasakan kurang mantap atau kurang pas. Bila tak ditaburi gula, maka kopi itu akan terasa pahit, kurang enak di lidah.
Sama halnya pula dengan proses pencairan es. Sangat mustahil bila ujug-ujug es yang tengah beku langsung mencari menjadi air. Sudah barang tentu itu perlu proses terlebih dahulu. Intinya, setiap perjalanan hidup selalu dibarengi dengan proses. Ya, itu tadi: proses sebab-akibat. Itulah kisah perjalanan hidup ini yang penuh dengan peristiwa sebab-akibat.
Begitu pula dengan kejadian atau peristiwa yang dialami oleh seorang penulis yang terkenal lewat novel seri Pingkan pada tahun 90-an ini. Penulis yang dimaksud itu adalah Muthmainnah. Beliau merupakan salah satu pendiri organisasi kepenulisan yang sudah sangat terkenal di Indonesia, bahkan telah memiliki cabang di beberapa negara, yaitu Forum Lingkar Pena.
Penulis yang sering memakai nama pena Muthmainnah atau May Moon ini mengaku tak langsung menjadi seorang penulis yang telah dikenal oleh banyak orang dewasa ini. Katanya, itu bukan tanpa sebab, melainkan ada sebab khusus yang 'menjerumuskannya' ke dunia tulis-menulis ini. Prosesnya begitu panjang. Apa itu?
Muthmainnah mengungkapkan kepada Bandung Ekspres, kegiatan menulisnya dimulai sejak dia menduduki kelas 2 SMP. Itu pun disokong penuh oleh kegiatan membacanya yang superpower ketika itu. "Saya menulis sejak kelas dua SMP waktu masih tinggal di Padang. Tepatnya ketika itu saya sekolah di SMPN 2 Padang. Kegiatan menulis itu dimulai dari kesukaan saya dalam membaca. Setidaknya tiga kali seminggu saya selalu datang ke perpustakaan, lalu meminjam buku," ucapnya ketika Bandung Ekspres berkunjung ke rumahnya di Tanjung Sari, Sumedang, beberapa waktu lalu.
Betapa tidak, ibu tiga orang ini mengutarakan, karena keasyikan membaca, hingga tak terasa seluruh buku yang ada di perpustakaan sewaktu duduk di bangku SMP dulu tersebut telah dilumat habis olehnya. "Bahkan, kartu peminjaman buku di perpustakaan tersebut habis terisi karena saya keseringan meminjam. Padahal punya teman-teman masih banyak terisi kosong," ujarnya mengenang masa lalu.
Dari hobinya mengunjungi perpustakaan, Muthmainnah pun dianugerahi sekolahnya menjadi pengunjung terbaik mengalahkan teman-temannya.
Dari membaca yang superpower, penulis yang juga dosen Fikom Unpad ini mengemukakan, timbullah perasaan ingin menulis sesuatu yang dibaca dari buku-buku tersebut untuk dituangkan ke dalam tulisan-tulisan. Katanya, ada rasa tersendiri yang mengganjal jika seseorang senang membaca, yaitu ingin mengungkapkan apa yang dibaca menjadi tulisan. Itulah yang dirasakan oleh Muthmainnah.
Kegiatan menulis pertamanya dimulai dengan menulis cerita pendek (cerpen). Itu dilakukannya terus-menerus. Kegiatan itu berlanjut hingga May Moon duduk di bangku SMA. Di bangku SMA ini, dia mulai berani mengirimkan tulisan-tulisannya ke media-media cetak, seperti, majalah, koran, dan lain-lain.
Nikmatnya bukan main ketika melihat salah satu karyanya berhasil dimuat di salah satu majalah yang terkenal dulu. "Saat itu saya mendapat honor Rp 75.000. Nikmatnya bukan main," selorohnya.
Proses menulisnya pun berlanjut saat May Moon masuk kuliah di Fikom Unpad tahun 1992. Di kampus, kegiatan menulisnya semakin terasah. Sebelum masuk kuliah, tulisannya banyak menceritakan tentang pacaran. Saat masuk kampus, pemikirannya mulai teperbaiki karena Maya Moon mendapat materi-materi dakwah di lembaga dakwah kampus. Selain belajar dan menulis, saat di kampus May Moon juga aktif di dunia dakwah.
Bermula aktif di dunia dakwah itulah, dia berhasil mengajak teman-teman akhwat yang kebetulan memiliki hobi yang sama, yaitu menulis, seperti, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan lain-lain, untuk membentuk organisasi kepenulisan, yaitu Forum Lingkar Pena.

Ngabuburit dengan Sepedahan


Melongok Tradisi Ngabuburit Masyarakat
Ngabuburit dengan Sepedahan
Beragam cara dilakukan oleh masyarakat untuk memanfaatkan waktu di bulan Ramadan. Salah satu cara warga menikmati bulan puasa ini dengan ngabuburit.

Pukul 16.00 WIB sore kemarin (22/8), di salah satu sudut perumahan terkenal di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, terlihat beberapa orang tengah menaiki sepeda. Perlengkapan sepeda digunakan oleh mereka, seperti, helm, baju sepeda, hingga sepatu. Jarang sekali masyarakat melakukan aktivitas olahraga saat melakukan ibadah puasa, apalagi olahraga berat seperti itu.
Namun, tidak bagi mereka yang telah terlanjur hobi dengan olahraga yang satu ini. Puasa bukanlah penghalang bagi mereka yang telah keranjingan bersepeda. Malah kegiatan bersepeda dijadikan sebagai salah satu cara untuk menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit).
Bandung Ekspres mencari tahu alasan mereka melakukan olahraga sepeda dan berhasil mewawancarai salah seorang dari mereka. Sebut saja Tatang Rohadi, pesepeda yang telah melanglangbuana menikmati hobinya tersebut.
Tatang menuturkan, kegiatan bersepeda telah mendarahdaging di jiwanya. "Baik puasa maupun tidak, saya selalu bersepeda," katanya.
Di luar bulan Ramadan, Tatang dan teman-teman lainnya yang memiliki hobi yang sama bersepeda mengatakan telah memiliki jadwal khusus. "Kami setiap seminggu atau dua minggu sekali bersepeda," ucap warga Perum Bumi Rancaekek Kencana ini.
Rute yang sering mereka lalui, ungkap Tatang, adalah Rancakek-Kiarapayung. "Selain itu, terkadang setahun sekali kami sering melakukan sepeda jarak jauh. Terakhir kami bersepeda ke Yogyakarta," sambungnya.
Rute jarak jauh yang pernah mereka tempuh, sambung Tatang, antara lain, Pangandaran, Garut, dan lain-lain. "Kami senang melakukan itu. Jarak bukanlah penghalang. Semakin jauh jarak tempuh, malah membuat kami semakin tertantang," seloroh pria berkumis ini.
Begitu pula ketika bulan Ramadan tiba, mereka tidak memberhentikan aktivitas mereka itu. Namun, untuk menjaga stamina mereka melakukan olahraga sepeda hanya jarak dekat saja, yaitu Rancaekek-Kiarapayung.
"Kami berangkat dari rumah biasanya jam empat sore. Dari sini ke Kiarapayung menghabiskan waktu selama sekitar satu jam. Setelah itu langsung pulang lagi," tutur Tatang.
"Kami tiba di rumah biasanya sekitar sepuluh menit sebelum azan maghrib berkumandang," imbuhnya.
Meskipun sedang menjalankan ibadah puasa, Tatang berharap agar seluruh umat muslim tidak melepaskan kegiatan olahraga. "Dengan begitu, stamina kita akan terjaga dan insya Allah tetap sehat," tandasnya.
"Lakukanlah olahraga yang ringan-ringan saja agar tak terlalu menguras tenaga dan tidak menyebabkan ibadah puasa kita batal," pungkasnya.

07 Agustus 2009

Mendidik dengan Menulis Buku Anak


Profil Benny Ramdhani
Mendidik dengan Menulis Buku Anak
Nama : Benny Ramdhani
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 15 November 1970
Pekerjaan : Penulis novel anak
Beberapa Karya :
* Trilogi Garuda di Dadaku (Mimpi Sang Garuda, Garuda di Dadaku, dan Garuda Mengejar Matahari)
* Buku Jika Aku Jadi Kucing memperoleh penghargaan sebagai pemenang ketiga Adikarya Ikapi 2007
* SBeberapa karya lainnya, seperti, novel anak, kumpulan cerpen, kumpulan dongeng, dan pictorial book

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada masa liburan sekolah, sebuah film bagus hadir menghiasi bioskop-bioskop di tanah air. Film tersebut berjudul Garuda di Dadaku.
Film anak itu menceritakan tentang keinginan yang kuat seorang anak untuk menjadi pemain sepakbola terkenal. Cita-citanya telah bulat dan tak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh kakeknya.
Film tersebut telah menempati posisi tertentu di hati para penonton Indonesia. Banyak sekali pelajaran dari film tersebut, terutama penanaman cita-cita sejak kecil.
Itu versi filmnya. Film Garuda di Dadaku merupakan hasil adaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama. Di balik kesuksesan film tersebut ternyata tak lepas dari peran penting sosok penulis novelnya sendiri, yaitu Benny Ramdhani.
Bandung Ekspres beberapa waktu lalu berhasil mewawancarai sang penulis Garuda di Dadaku, yang telah menelurkan puluhan karya anak ini di kantornya.
Kak Benny - panggilan akrabnya - telah menulis cerita dan dongeng anak-anak sejak usia sepuluh tahun. Akan tetapi, karyanya baru dimuat di Majalah Bobo ketika dia duduk di kelas tiga SMP.
Hingga kini beliau telah menulis ratusan cerpen dan dongeng anak di berbagai media cetak. Kegemarannya adalah membaca buku dan berselancar di internet. "Buku yang paling saya gemari adalah buku anak. Dari kecil hingga dewasa seperti sekarang, buku anak tetap saya sukai," selorohnya.
Hobi membaca buku-buku anak membuat pria kelahiran 15 November ini semakin giat berkiprah bergelut di dunia kepenulisan anak-anak. Beberapa karya khusus anak telah dihasilkannya, antara lain, novel, dongeng, cerita pendek (cerita pendek), dan lain-lain.
Benny mengungkapkan, menulis buku anak itu banyak tantangannya. "Memang menjadi penulis anak itu sangat berbeda dengan menulis buku-buku dewasa dan jenis buku lainnya, terutama masalah royalti. Menulis buku anak memiliki royalti yang lebih sedikit daripada menulis jenis buku yang lain," ujar bapak satu anak ini.
Selain tantangan itu, Benny menuturkan, menulis buku-buku anak juga memiliki beberapa tantangan lainnya, yaitu memiliki misi suci untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia. Misi suci tersebut, antara lain, meningkatkan minat baca, memberikan pendidikan yang baik, dan lain-lain.
"Selain menulis, seorang penulis buku anak juga ditantang untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Oleh karena itu, penulis buku anak harus bisa menghasilkan karya dengan semaksimal mungkin agar seluruh anak Indonesia gemar membaca," kata suami dari Titin Hartini ini.
Benny menuturkan, itulah tantangan menulis buku-buku anak. Dengan demikian, tantangan penulis anak bukan hanya sebatas idealisme, melainkan juga memberikan pendidikan kepada penerus bangsa ini. "Dengan begitu, penulis anak akan tertantang untuk memperbaiki nasib bangsa," ucapnya.
Benny mengkritik buku-buku anak impor yang beredar bebas di masyarakat beberapa tahun belakangan ini. "Anak-anak sekarang justru lebih suka membaca buku impor, seperti, komik, novel anak, dan lain-lain, daripada membaca buku anak hasil karya dalam negeri," sesalnya.
Meskipun menyukai karya-karya tersebut, lanjut Benny, tetap saja terkadang ada sisi yang tak boleh dikonsumsi oleh anak-anak Indonesia. Buku-buku impor belum tentu memiliki pengaruh positif bagi anak-anak. Perbedaan budaya dari isi buku tersebut menjadi permasalahan utama. (yan)

Banting Setir: Dari Wartawan ke Penulis Buku


Profil Tasaro GK
Banting Setir: Dari Wartawan Ke Penulis Buku
***Jatuh Bangun Selama Tiga Tahun Karyanya Tak Diterima Penerbit***
Nama : Tasaro atau Taufiq Saptoto Rohadi
Tempat tanggal lahir : Gunung Kidul, DIY, 1 September 1980
Alamat : Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat
Karya-karya :
Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004)
Wandu (Berhentilah Menjadi Pengecut!), menjadi Juara I Lomba Menulis Novel Tingkat Nasional Forum Lingkar Pena (FLP) Award 2005
Rumah Hati (Syamil, 2005)
Di Serambi Makkah (DAR! Mizan, 2005), buku terbaik Adikarya Ikapi 2006
Oh, Achilles, buku terbaik Adikarya Ikapi 2007
Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009)
Takhta Nirwana (Qanita, 2009)
Nama Tasaro tak asing lagi di telinga para pembaca. Namanya sering terpampang di spanduk-spanduk kegiatan kepenulisan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi, seperti, seminar, talkshow, diskusi, dan aneka acara kepenulisan lainnya. Penulis kelahiran Gunung Kidul, DIY tersebut, telah melanglangbuana ke berbagai penjuru daerah mengisi berbagai acara sebagai pembicara.
Ya, Tasaro. Itu merupakan nama penanya. Nama sebenarnya adalah Taufiq Saptoto Rohadi. Nama Tasaro merupakan akronim dari ketiga kata nama aslinya tersebut. Kini, penulis yang telah beberapa kali mendapat penghargaan ini dikenal pula dengan nama Tasaro GK. GK merupakan salah satu karya yang ditelurkannya pada awal tahun ini, yaitu Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009).
Masa kecilnya ketika di tanah Jawa begitu bahagia. Sejak kecil memang telah digiring dan diarahkan oleh ibunda tercintanya, Umi Daridjah, untuk menjadi seorang penulis.
Sejak duduk di bangku kelas 1 SD Trowono I, Tasaro telah mulai menulis puisi dan buku harian. Penulis yang menyukai segala jenis tulisan ini pun sering membawakan puisi karyanya maupun karya sang bunda dalam berbagai acara sekolah dan pagelaran desa.
Ibunya pula yang memoles kecintaan Tasaro terhadap seni. Minatnya yang beragam mengantarnya pada berbagai ajang lomba ataupun pertunjukan, baik yang digelar di desa maupun di sekolahnya. Mulai mengarang, menyanyi, menari, menggambar, sampai seni peran, dia pelajari dengan begitu tekun.
Selesai SD, dia pindah ke Kota Yogyakarta. Awal tahun 90-an, minat penulis yang juga menyukai beragam jenis musik ini terhadap dunia penulisan semakin menggebu-gebu. Kelas II SMP, Tasaro menulis cerita bergambar yang dihadiahkannya kepada seorang teman di SMPN 4 Yogyakarta, tempatnya menimba ilmu kala itu.
Selain aktif menulis, minat Tasaro terhadap kegiatan kepemimpinan dan organisasi begitu kuat. Dia sempat tercatat menjadi Ketua OSIS SMA Mataram Yogyakarta, pemimpin Paskibra, dan aktif juga ambil bagian dalam kegiatan majalah dinding (mading) sekolah. Waktu itu pula dia menulis novel yang tak selesai dengan judul "Sakura".
Begitu masuk perguruan tinggi, Tasaro semakin bersemangat menghidupkan kecintaannya terhadap dunia tulis-menulis. Hal ini terbukti. Saat masuk perguruan tinggi, dia mengambil Jurusan Jurnalistik di PPKP Universitas Negeri Yogyakarta. Di kampus inilah, Tasaro mendalami ilmu kewartawanan dan seni menulis fiksi. Berbagai kegiatan jurnalistik dia lakoni di kampus tempatnya menimba ilmu tersebut.
Setelah lulus kuliah pada tahun 2000, Tasaro melanjutkan minat jurnalistiknya dengan menjadi wartawan di Harian Pagi Radar Bogor (Jawa Pos Grup). Selain meliput kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa, Tasaro juga aktif di luar liputan, antara lain, menulis novel, mengajar jurnalistik, dan menyempatkan diri untuk kuliah di salah satu kampus Islam di kota hujan tersebut. Selama tiga tahun, dia jatuh bangun karena tak satu pun penerbit atau lomba fiksi yang meloloskan karyanya.
Akhirnya, masa menunggu itu usai. Karya pertamanya, yaitu Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004) terbit. Novel tersebut berkisah tentang dunia silat yang ikut terinspirasi oleh sandiwara-sandiwara yang sering hadir di radio.
Pria kelahiran 1 September 1980 ini juga pernah menjadi redaktur pelaksana Harian Pagi Radar Bandung (Jawa Pos Grup). Di koran tempatnya bekerja dulu tersebut juga Tasaro sering mengisi berbagai kolom, antara lain "Ngerumpi" dan menulis cerita bersambung.
Entah telah berapa karyanya yang telah beredar di hadapan pembaca karena saking banyaknya. Tahun ini, karya-karya yang berhasil diterbitkan adalah Galaksi Kinanthi (Salamadani, 2009) dan Takhta Nirwana (Qanita, Juni 2009).
Aktivitas penulis yang tinggal di lereng Gunung Geulis, Jatinangor, ini sekarang adalah menjadi Chief Editor Salamadani Publishing dan Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat. Tasaro juga aktif mengisi diskusi, seminar, dan pelatihan kepenulisan di berbagai daerah. Dari awal bulan Juni lalu hingga beberapa bulan ke depan, Tasaro juga menjadi pembimbing (pementor) peserta Beasiswa Menulis Karya Terobosan yang terselanggara atas kerjasama FLP Jawa Barat dan Penerbit Salamadani.