08 Juli 2009

Menikmati Perjalanan


Rabu, 8 Juli 2009

Saat naik delman, aku jadi teringat dengan salah satu lagu yang sangat terkenal:

Hari Minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Di samping pak supir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk...
Tuk tik tak tik tuk tik tak...
Suara sepatu kuda...

Dalam foto itu, aku sedang menikmati perjalanan naik delman 'istimewa' di Jalan Gunung Batu, Bandung. Seru nian saat itu. Saat itu aku menuju sebuah tempat pemungutan suara (TPS) yang ada di Komplek Cimindi Raya. Di sana aku akan melihat Wakil Walikota Cimahi, Eddy Rahmat, mencontreng. Juga mengontrol kondisi keamanan saat pelaksanaan Pilpres, Rabu, 8 Juli 2009.

Memang seru. Kunikmati tugas jurnalistikku itu dengan mengendarai delman yang telah jarang ada di kota-kota besar. Kuanggap itu sebagai pelepas penat yang selalu aku lakukan setiap saban hari.

Siang itu, aku naik delman dari kawasan Stasiun Cimindi, Kota, Cimahi, di sebuah tempat ngetem banyak delman. Perjalanan sungguh menantang. Yang sibuk bukan hanya pengendara delman, melainkan juga para penumpangnya. Jika pengendara sibuk mengendalikan kudanya, sedangkan penumpang 'sibuk' membenarkan tempat duduk, memegang kokoh tempat duduk agar tak bergeser karena sesekali tempat duduk penumpang turun-naik dan sangat mengganggu penumpang yang badannya tidak seimbang. Akhirnya, tak sampai 10 menit, aku pun tiba di lokasi yang kutuju.

Sungguh nikmat menikmati perjalanan menggunakan delman: penuh kenikmatan sekaligus tantangan. Aku salut dengan para pengendara delman karena dalam mengendarai delman diperlukan konsentrasi dan keahlian khusus agar delman berjalan seimbang dan kudanya selalu 'nurut' kepada sang majikan.

07 Juli 2009

Helvy Tiana Rosa, Menulis Bikin Kaya


Helvy Tiana Rosa, Menulis Bikin Kaya
Helvy Tiana Rosa lahir di Medan, 2 April 1970 adalah sastrawan, motivator menulis, editor dan dosen. Helvy memperoleh gelar sarjana sastra dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Gelar magister diperolehnya dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Sehari-hari ia adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.
Mantan Redaktur dan Pemimpin Redaksi Majalah Annida (1991-2001) ini, tahun 1990 mendirikan Teater Bening-sebuah teater kampus di FSUI yang seluruh anggotanya adalah
perempuan, menulis naskah dan menyutradarai pementasan teater tersebut di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Auditorium Fakultas Sastra UI serta keliling Jawa dan Sumatera.
Helvy merupakan pendiri dan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP, 1997-2005), sebuah forum penulis muda beranggotakan lebih 7000 orang yang tersebar di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelola "Rumah baCA dan HAsilkan karYA (Rumah Cahaya)" yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Selama 11 tahun keberadaannya, bekerjasama dengan puluhan penerbit, FLP telah meluncurkan lebih dari 1000 judul buku. Karena kegiatannya yang begitu padat dan selalu memberikan 'pencerahan' kepada orang lain, The Straits Times dan Koran Tempo menyebut Helvy sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003). Tahun 2008, Helvy membawa FLP meraih Danamon Award--sebuah penghargaan tingkat nasional bagi mereka yang dianggap sebagai pejuang, dan secara signifikan dianggap berhasil melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar.
Tahun 1980-1990 Helvy memenangkan berbagai perlombaan menulis tingkat propinsi dan nasional. Namun menurutnya yang paling berkesan ketika 'Fisabilillah" menjadi Juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra, tingkat nasional (1992), dengan HB Jassin sebagai Ketua Dewan Juri. "Jaring-Jaring Merah" terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Lelaki Kabut dan Boneka mendapat Anugerah Pena sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2002), sedangkan Bukavu masuk seleksi Long List Khatulistiwa Literary Award 2008.
Istri Tomi Satryatomo serta Ibu Abdurahman Faiz dan Nadya Paramitha ini pernah terpilih sebagai Ikon Perempuan Indonesia versi Majalah Gatra (2007), Wanita Indonesia Inspiratif versi Tabloid Wanita Indonesia (2008), Tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Tokoh sastra Eramuslim Award (2006), Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2004), Ummi Award dari Majalah Ummi (2004), Muslimah Berprestasi versi Majalah Amanah (2000), Muslimah Teladan versi Majalah Alia (2006), dll. Sastrawan yang juga nominator Indonesia Berprestasi Award XL 2007 Bidang Seni Budaya ini, sering diundang berbicara dalam berbagai forum sastra dan budaya di pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir, Amerika Serikat, dll.
Mantan Sekretaris DPH-Dewan Kesenian Jakarta (2003) dan Anggota Komite Sastra DKJ (2003-2006), sehari-harinya adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Tahun 2008 ia terpilih sebagai Dosen Berprestasi Universitas Negeri Jakarta. Kini ia juga Ketua Majelis Penulis Forum Lingkar Pena, Direktur Lingkar Pena Publishing House, dan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).
Helvy telah berhasil menulis puluhan buku. Beberapa cerpennya telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Arab, Jepang, Perancis, Jerman,Swedia, dll. Di samping itu ia adalah editor puluhan buku dan kerap diundang sebagai juri dalam berbagai sayembara penulisan di dalam dan luar negeri.
Aktivitas menulis pastilah beraneka ragam, antara lain, menulis novel, puisi, artikel, cerpen, feature, folklor, atau bentuk-bentuk lainnya.
Beliau mulai menulis sejak kelas tiga SD. Telah banyak pula media yang berhasil Helvy tembus. Saking seringnya Helvy menulis, beliau sampai menulis cerpen atas nama teman-temannya agar cerpennya selalu dimuat di majalah.
Ada juga jurus-jurus sakti ala Helvy untuk mulai menulis seperti membaca. "Pertama, kita akan menuangkan air ke gelas orang lain. Maka gelas kita harus penuh. Kalau gelas kita kering, kita mau menuang apa?" jelas Helvy. Kedua, berlatih dengan catatan harian. Ketiga, korespondensi dengan para pakar ilmu. Keempat, berlatih deskripsi. Terakhir, bergabung dengan komunitas penulis.
Memang menulis bisa bikin kaya? Menulis bisa membuat kaya bukan kaya dalam artian kaya uang atau harta, yang dimaksud kaya itu luas. Kekayaan abadi seorang penulis adalah kekayaan gagasan, kekayaan wawasan, kekayaan jiwa, kekayaan ide, dan kekayaan imajinasi. Itulah hakikat kekayaan yang dimiliki oleh seorang penulis.

Ahmad Tohari, Tema Alam dan Kearifan Lokal


Ahmad Tohari, Tema Alam dan Kearifan Lokal

Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini. Para pengamat sastra mengakui bahwa karya-karyanya mempunyai nilai sastra yang sangat kental dan tinggi. Oleh karena itu, banyak karyanya telah diteliti oleh para akademisi - baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bahkan, karya-karya beliau juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, seperti bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Penulis teringat dengan komentar dari beberapa pengamat. Sebagaimana dimuat di Majalah Tempo, 19 Februari 1983, Sapardi Djoko Damono mengatakan, "Dibandingkan dengan Kubah, novelnya yang terdahulu, Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan bahwa Ahmad Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Seperti juga dalam Kubah, latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa yang sederhana digambarkannya dengan menarik, bahkan tidak jarang, sangat menarik". Dr. H. J. M. Meier juga mengungkapkan, "Suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, suatu masalah yang bagi kita pun sangat lazim. Tetapi yang paling mengasyikkan dari kesemua itu adalah gambaran tandas yang berhasil dibangkitkan Ahmad Tohari, yang mengikis khayalan indah kita tentang kehidupan pedesaan di Jawa" (Orion, April 1984). Kedua komentar di atas merupakan sebuah testimoni positif dari Sapardi dan Meier terhadap novel trilogi Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.
***
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka dari itu, warna hampir semua karyanya adalah menceritakan tentang lapisan bawah dengan latar alam, mulai dari Kubah, Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak, sampai pada Lingkar Tanah Lingkar Air. Beliau memiliki kesadaran dan wawasan alam yang sangat luas, sebagaimana terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya.
Seperti halnya yang pernah beliau tulis dalam sebuah makalah ketika saya menghadiri Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP) di Jakarta, 11-13 Juli 2008 lalu, Beliau menulis begini, "Barangsiapa tidak menjenguk tetangga yang sakit, nerakalah akibatnya. Secara luas tetangga yang sakit bisa diartikan sebagai kaum dhuafa, kaum miskin, kaum yang tertindas, dan terpinggirkan yang ada di mana-mana. Nah, merekalah sumber tenaga kreativitas saya karena pada merekalah pemikul-pemikul alamat ke mana saya bisa mendekatkan diri kepada Allah dan memberi ujud taqarrub ila Allah secara konkret. Dengan demikian, mudah dipahami mengapa dalam seluruh karya saya terlihat penghayatan dan pembelaan terhadap masyarakat bawah".
Boleh jadi karena rasa ketertarikannya dengan keaslian alam, maka Ahmad Tohari tidak betah hidup di kota. Jabatannya dalam staf redaksi kelompok Merdeka, Jakarta, yang dipegangnya selama dua tahun akhirnya ditinggalkannya. Kini dia kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara lumut dan batu cadas di desanya.
Secara tidak langsung, karya sastra mempunyai fungsi sosial yaitu mentransfer informasi dari penulis kepada para pembaca (masyarakat umum atau khalayak). Dengan tulisan-tulisan dari para penulis, para pembaca dapat mengetahui tentang suatu informasi atau peristiwa tertentu yang belum diketahui oleh mereka.
Selain itu, karya sastra juga berfungsi memengaruhi perasaan para pembacanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kontribusi yang maksimal dari para penulis untuk menyampaikan pesan-pesan yang positif kepada para pembaca karya-karyanya agar memberikan teladan yang baik kepada masyarakat luas.
Dengan demikian, sesuatu yang dilakukan oleh Ahmad Tohari melalui karya-karyanya sudah memberikan pesan moral yang positif dan sangat berharga bagi para pembaca, terutama bagi 'orang-orang atas'. Karya-karyanya telah menyebarkan informasi kepada para pembaca mengenai pentingnya bersikap tenggang rasa dan toleransi kepada masyarakat bawah (orang miskin). Sebagaimana telah diketahui bahwa pengorbanan masyarakat bawah tersebut begitu 'menggebu-gebu' dan sangat mengharukan. Akan tetapi, yang tampak di masyarakat dewasa ini, ada beberapa golongan masyarakat yang tidak peka kepada mereka, seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran mereka di lingkungan sekitar kita. Dengan karya sastra, semoga dapat memberikan kesadaran transenden kepada masyarakat luas, khususnya kepada 'orang-orang atas', mengenai hadirnya masyarakat bawah di tengah-tengah kita selama ini. Semoga dapat memberikan kesadaran kepada mereka bahwa berbagi dengan sesama itu sungguh indah.

Habiburrahman El-Shirazy, Berperang terhadap Aksi Pembajakan


Berperang terhadap Aksi Pembajakan
PROFIL
Nama : Habiburrahman El-Shirazy
TTL : Semarang, 30 September 1976
Pendidikan : Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadis, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir (1999)
Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies in Cairo (2001)
Pekerjaan : Dai, novelis, dan penyair
Karya : Ayat-ayat Cinta (2004)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2004)
Di Atas Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
Ketika Cinta Bertasbih (1 dan 2) (2007)
Karya selanjutnya : Dari Sujud ke Sujud
Langit Makkah Berwarna Merah
Bidadari Bermata Bening
Bulan Madu di Yerussalem
Penghargaan : Pena Award 2005
The Most Favorite Book and Writer 2005
IBF Award 2006

Beberapa waktu belakangan ini, publik Indonesia disemarakkan dengan beredarnya film pembangun dan penyejuk jiwa yang bertemakan religius, yaitu film Ketika Cinta Bertasbih. Tak jarang kita saksikan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik, para penonton yang berdesak-desakan untuk menonton film tersebut.
Bahkan, suatu forum di dunia maya (salah satunya, kolega Bandung Ekspres di facebook) menyebutkan bahwa banyak sekali calon penonton yang tak kebagian tiket karena membeludaknya penonton yang juga ingin menyaksikan film tersebut. Padahal mayoritas manajemen bioskop telah menyediakan dua studio sekaligus dalam satu hari.
Film itu merupakan hasil adaptasi dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy dengan judul yang sama. Itulah versi filmnya. Versi film-meskipun masih dalam proses-tak kalah bagusnya dengan versi bukunya. Versi buku dan film sama-sama 'meledak'. Bukunya berkali-kali telah mengalami cetak ulang.
Tokoh di balik kesuksesan buku dan film Ketika Cinta Bertasbih adalah novelis asal Semarang, Habiburrahman El-Shirazy. Selain menulis novelnya, Kang Abik-sapaan akrabnya-juga merupakan konseptor film tersebut. Di samping itu, di film ini pula alumni Universitas Al-Azhar ini mengembangkan'bakat' terpendamnya dengan berperan sebagai Ustadz Musjab, seorang ulama Indonesia yang telah tinggal di Mesir.
Beliau merupakan penulis bertangan dingin. Setiap karya yang dihasilkannya selalu meledak di pasaran. Para penikmat buku selalu menunggu hasil-hasil karya berikutnya.
Kang Abik telah menghasilkan beberapa judul buku, antara lain, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, Dalam Mihrab Cinta, Ayat-ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta, dan Ketika Cinta Berbuah Surga. Semua judul buku itu menjadi sumber bacaan favorit di kalangan para pembaca.
Para pembaca mana yang tak kenal dengan sosok penulis yang tawadhu' ini? Namanya sering hadir hampir di setiap diskusi kesusastraan atau diskusi keislaman, terutama di kalangan lembaga dakwah kampus. Ya, itulah Habiburrahman El-Shirazy, sosok penulis yang suka merendah, tipe pekerja keras, dan memiliki visi-misi yang begitu kokoh.
Bandung Ekspres telah beberapa kali bertemu dengan penulis yang juga seorang dai ini. Ketika bertemu dengannya, ada satu pokok bahasan yang sangat menarik untuk diungkapkan, yaitu masalah pembajakan buku. Wah, menarik sekali!
Memang, buku-buku yang laris di pasaran selalu menjadi 'objek' bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis buku. Dengan membajak buku laris, untung yang diperoleh oleh mereka akan berlimpah.
Coba saja kita lihat di toko-toko buku murah terkenal di Bandung, banyak sekali buku-buku laris dijual di sana dengan harga miring. Salah satu yang sering menjadi objek pembajakan adalah buku karya Kang Abik ini.
"Waktu saya berkunjung ke Medan, waduh banyak sekali buku Ayat-ayat Cinta (salah satu karyanya yang sangat laris, red) bajakan waktu (para peserta seminar, red) mau minta tanda tangan," ujarnya.
Beliau juga mengungkapkan sangat geram dengan aksi pembajakan yang melanda bangsa Indonesia. "Bangsa Indonesia telah hancur akhlaknya," komentar Kang Abik dalam suatu surat kabar.
Pria kelahiran Semarang, 30 September 1976 ini mengungkapkan, "Kepada para pembaca, saya mengharapkan agar membeli buku yang asli karena royaltinya dipergunakan untuk kepentingan dakwah juga. Dengan membeli buku-buku yang asli berarti telah membantu dakwah kita juga," nasihatnya kepada para peserta seminar ketika mengisi suatu acara di Aula PSBJ Universitas Padjadjaran.
Selain berprofesi sebagai penulis, Kang Abik juga bertindak sebagai pendiri sekaligus pengajar di Pesantren Wirausaha Basmala, Semarang. Hasil royalti dari menulis buku dan film dipergunakan untuk mengembangkan pesantren tersebut.