25 Mei 2009

Mencari Kehidupan di Bus Damri


Damri, Tempat Mencari Sesuap Nasi
Saat itu, mentari tak terlalu membuat dingin dan tak pula membuat tubuh ini gerah. Angin sepoi-sepoi terasa sangat memesona. Di Pintu Tol Moh. Toha berjejer para pencari rezeki: ada tukang koran, ada pengamen, dan bahkan, ada pula para pengemis. Mereka sedang duduk asyik di tempat duduk semen yang ada di sana. Saya baru saja turun dari angkot Banjaran-Tegallega dan tiba di lokasi itu untuk menunggu bus yang akan membawa saya ke Jatinangor, tempat kuliah saya. Kulihat raut muka mereka penuh pengharapan. Harapan agar hari ini dapat memperoleh uang untuk menghidupi keluarga-keluarga mereka.
Tak lama kemudian, datanglah bus yang kutunggu-tunggu: bus Damri Jurusan Elang-Jatinangor. Saya langsung menaiki bus itu dari pintu belakang. Ketika tiba di sana, Damri langsung diserbu oleh para pencari nafkah tadi. Mereka masuk bergiliran dari pintu depan dan keluar dari pintu belakang. Pertama, tukang koran. Kedua, tukang majalah. Ketiga, penjual air mineral. Keempat, penjual makanan ringan. Kemudian, yang terakhir adalah pengamen. Mereka begitu tertib. Ada pelajaran yang sangat berharga dari diri mereka: meskipun mereka mempunyai tujuan yang sama (mencari nafkah), tetapi mereka tak sampai sikut-menyikut satu sama lain. Inilah pelajaran hidup yang selalu saya tanamkan dalam diri saya.
Tak lama, bus Damri pun mulai berjalan dan merangsek masuk ke Pintu Tol Moh. Toha. Saya pun mulai merasakan kantuk yang begitu dahsyat. Tak lama berselang, sayup-sayup kudengar suara gitar yang dimainkan oleh pengamen yang masuk berbarengan dengan para penjual tadi. Lagu Ulah Ceurik pun mengalun membahana. Lagu itu membuat saya tak mengantuk lagi. Setelah lagu itu, lagu-lagu yang lain pun mengalun indah bak lantunan penyanyi kawakan. Lagu-lagu pun disudahi. Sang pengamen menyodorkan wadah kepada para penumpang. Saya lihat dia mendapat rupiah yang lumayan banyak.
Hingga tak terasa, perjalanan pun telah tiba di Pintu Tol Cileunyi. Tak lama keluar pintu tol, tepatnya di depan AMC Hospital, kembali masuk pengamen yang lain dan para pedagang beragam makanan. Ada penjual air mineral, penjual roti kering, dan lain-lain. Mereka semua akan turun bus dan akan mulai 'beraksi' lagi ketika bus tiba di pangkalan Damri Jatinangor, tepatnya di Kampus Unpad Jatinangor.
Begitulah suasana setiap perjalanan saya menuju kampus tercinta saya. Ada perasaan syahdu yang menyusup tubuh ini. Perasaan pilu sekaligus memprihatinkan melihat fenomena anak jalanan yang berkeliaran mencari sesuap nasi.
***

Tetralogi Laskar Pelangi dan Kearifan Lokal

Kearifan Lokal dalam Tetralogi Laskar Pelangi
Beberapa minggu belakangan ini masyarakat pembaca Indonesia ditakjubkan dengan hadirnya novel keempat dari tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Maryamah Karpov (setelah sebelumnya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor). Beberapa hari yang lalu, ketika launching novel pamungkas Andrea Hirata tersebut, sungguh membuat publik pembaca Indonesia tercengang.
Hari itu, Jumat, 28 November 2008, adalah hari tetralogi Laskar Pelangi. Meski hari pertama penjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, di toko buku Gramedia Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Pihak penerbit novel-novel karya Andrea Hirata, Bentang Pustaka menyediakan 100 ribu kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan pertama di Indonesia.
Hal yang disampaikan di atas merupakan fenomena yang sangat membuat bangga dunia perbukuan Indonesia sekarang. Ternyata, publik Indonesia tampaknya sudah mulai merangkak naik jumlah pembacanya. Namun, penulis tidak tahu pasti jumlah yang sebenarnya.
Tulisan ini bukan membahas mengenai fenomena tersebut melainkan membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tetralogi milik Andrea Hirata tersebut. Banyak sekali nilai dan pesan moral yang terkandung di dalamnya, misalnya nilai keagamaan, nilai sosial, kedisiplinan, kepemimpinan, dan lain-lain. Namun, penulis ingin membahas satu tema yang sangat menarik: kearifan lokal, khususnya kearifan lokal suku bangsa Melayu, yang dimasukkan oleh penulis dalam novel-novel karyanya tersebut.
***
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat ‘local wisdom’, pengetahuan setempat ‘local knowledge’, atau kecerdasan setempat ‘local genious’. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat ke permukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah tersebut seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.
Kearifan lokal merupakan energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai; hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asah, asih, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup penuh maaf dan pengertian; dan lain-lain.
Kearifan lokal merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya subak di Bali, bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Selain itu, kearifan lokal yang diungkap bisa juga berbentuk bahasa suatu daerah, cara bertutur, kebiasaan, dan masih banyak lagi yang mencirikhaskan suatu komunitas atau daerah.
Andrea Hirata telah memuat dan mengungkap unsur-unsur budaya Melayu dalam berbagai karyanya, tetralogi Laskar Pelangi. Budaya-budaya tersebut divisualisasikan olehnya dari dunia nyata masyarakat Melayu yang tak terjangkau oleh masyarakat pembaca menjadi suatu tulisan yang sampai kepada mereka. Sehingga dengan semua itu, masyarakat pembaca sedikit-banyak dapat memperoleh pengetahuan mengenai seluk-beluk adat-istiadat masyarakat Melayu. Sebagai contoh, Andrea menulis dalam karya pamungkasnya, Maryamah Karpov, mengenai karakteristik masyarakat yang mendiami pulau Belitong. Dia menjelaskan mengenai karakteristik masyarakat Ho Pho, Sawang, Khek, Hokian, Tongsang, dan masyarakat Melayu sendiri.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, kita dapat memperluas wawasan mengenai masyarakat Melayu melalui karya-karya Andrea Hirata (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov), dan juga kita dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 15 Januari 2009

22 Mei 2009

Menyoal Isu Lokal dalam Karya Sastra

Lokalitas dalam Karya Sastra
Sastrawan besar Nusantara, Ahmad Tohari – bahkan mungkin semua pihak – menilai bahwa dalam menghasilkan suatu karya para penulis (sastrawan) muda Indonesia saat ini tampaknya tidak terlalu meminati tema-tema yang berwarna lokal, yang mencirikhaskan budaya daerah tertentu. Kepekaan mereka terhadap isu-isu lokal mungkin sangat rendah karena nilai-nilai lokal yang ada di frame mereka sudah demikian terkikis oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi produksi luar negeri.
Hal ini juga diamini oleh penulis muda, Tasaro. Dia mengatakan bahwa jika sedang marak fenomena buku nonfiksi, para penulis muda itu sibuk menulis buku nonfiksi pula; jika marak fenomena teenlit, maka mereka menulis teenlit pula. Fenomena ini tampak pada karya-karya yang telah penulis-penulis muda itu produksi selama ini. Menurutnya pula, seharusnya seorang penulis harus mampu menjadi trendsetter bagi para pembaca.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh kedua sastrawan ‘tua’ dan ‘muda’ di atas, jika dibandingkan dengan karya-karya Nusantara lama, fenomena karya-karya dewasa ini sangat berbeda. Karya sastra lokal sangat mudah ditemui pada karya-karya lama yang telah ditulis oleh sastrawan-sastrawan Indonesia sejak abad ke-18 dahulu. Setiap karya yang ditulis oleh para sastrawan ketika itu senantiasa mengusung tema lokal dan warna budaya Indonesia yang sangat khas sesuai dengan tempat penulis itu berasal, misalnya, novel trilogi-nya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala), Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Robohnya Surau Kami karya AA. Navis, dan masih banyak lagi.
Muatan lokal yang diungkapkan di atas merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya Subak di Bali, Bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya.
Pengamat Sastra, Melani Budianta, menilai bahwa globalitas dan lokalitas merupakan dua hal yang saling berlawanan, sekaligus saling berkaitan. Globalitas sesungguhnya berangkat dari makna yang tersusun dan terbentuk dari nilai-nilai lokal. Semula jangkauan pasar mereka adalah pasar lokal dan kebutuhan masyarakat itu sendiri, selanjutnya meluas ke daerah sekitarnya. Bahkan, sekarang ini kita dapat melihat jangkauannya sudah me-nasional, malah terkadang meranjak ke tingkat internasional.
Prof. Dr. Partini Sardjono Pradotokusumo dalam bukunya Pengkajian Sastra menulis bahwa suatu karya sastra dapat berfungsi – salah satunya – sebagai penyebar informasi. Penyebar informasi dari orang yang tahu kepada komunitas yang tak tahu. Dengan suatu karya sastra, seorang pembaca dapat mengetahui informasi atau fenomena yang sebelumnya mereka belum ketahui.
Sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 14 Agustus 2008

21 Mei 2009

Sastra, Lingkungan, dan Lokal

Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal
Saat ini masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain: penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi-jadi, cuaca tidak menentu, pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es yang ada di kutub Utara dan Selatan. Jagat raya hanya tinggal menunggu masa kehancurannya saja.
Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan untuk mengatasi masalah ini sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Para sastrawan pun tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah yang telah santer belakangan ini.
Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun semenjak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang saat itu dan karya-karya kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan nafas kerinduan pada alam.
Sastrawan-sastrawan telah menempatkan alam dan lingkungan sebagai objek tulisan mereka. Bahkan, alam dan lingkungan biasanya menjadi lambang sebuah keromantisan suatu karya.
Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair. Maman S. Mahayana, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai bahwa pengungkapan alam dalam kesusastraan Indonesia umumnya lebih banyak tercantum dalam tulisan-tulisan berupa puisi daripada novel ataupun cerpen, contoh puisi ”Tanah Air” karya M. Yamin, puisi ”Priangan Si Jelita” karya Ramadhan KH, puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah novel yang bertemakan alam juga lumayan banyak beredar sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia, misalnya ”Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir Alisjahbana, ”Upacara” karya Korrie Layun Rampan, ”Arus” dan ”Pulau” karya Aspar Paturisi, karya-karya Ahmad Tohari (mulai dari ”Kubah”, ”Ronggeng Dukuh Paruk”, ”Di Kaki Bukit Cibalak”, sampai pada ”Lingkar Tanah Lingkar Air”), dan lain-lain.
***
Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, adalah tema yang diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), yang berlangsung pada tanggal 11-13 Juli 2008 yang lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta.
Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya, maka anggotanya–bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini–pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini (baca: alam dan lingkungan). Dengan kepekaan itu akan tercapai sebuah cita-cita terbaik yang sangat diharapkan oleh semua manusia.
Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata, melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.
Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Umum FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, ”FLP bukan bagian dari sastra Khaos yang menyuarakan kehitaman dan kejanggalan psikologis manusia postmodern. FLP adalah penggagas sastra kosmos yang menyuarakan kembali pada kesadaran yang sebenarnya sederhana di tengah gejolak kegelisahan masyarakat”.
Salah satu tujuan menulis adalah memengaruhi perasaan para pembaca. Maka dari itu, sangat diharapkan kontribusi yang optimal dari para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang bertemakan tentang persaudaraan manusia dengan alam dan lingkungan dalam memperbaiki keadaan alam yang sangat tidak bersahabat saat ini. Alam dan lingkungan tidak bersahabat dengan manusia karena manusialah selama ini yang tidak bersahabat dengan mereka.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 17 Juli 2008

19 Mei 2009

Bahaya Tren Fesyen bagi Remaja

Bahaya Tren Fesyen bagi Remaja
Apabila menonton sinetron atau film yang bertemakan remaja, kita akan dapat melihat fenomena-fenomena yang sangat membuat hati kita miris, antara lain, tema ceritanya yang tak beranjak dari hubungan percintaan, para pemerannya selalu menggunakan pakaian yang modis, dan masih banyak lagi. Sebagai contoh, di dalam sinetron atau film remaja yang diperankannya itu, pemain laki-laki kebanyakan memakai baju seragam sekolah yang sering dikeluarkan dari celananya sehingga tampak kurang sedap bila dilihat. Begitu juga dengan pemain perempuannya, selain mengeluarkan baju, mereka kebanyakan memakai rok sangat pendek yang boleh dikatakan amat seksi. Bahkan, di sekolah yang tergolong suasana formal (resmi) pun mereka tetap saja memakai pakaian-pakaian yang modis tersebut. Selain seragam sekolah, banyak sekali mode-mode lain yang sangat digandrungi, terutama oleh dunia remaja, seperti, pakaian santai di rumah, pakaian travelling, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai tren pakaian yang melanda dunia remaja kita. Menurut penulis, tren pakaian yang bergonta-ganti tiap waktu bukannya membuat akibat positif, melainkan banyak sekali mengundang akibat negatif.
***
Sebagaimana telah diketahui bahwa dunia fashion dari waktu ke waktu selalu menghadirkan sesuatu yang baru. Kita tentu masih ingat celana cutbrai yang digandrungi oleh kaum Adam di tahun 70-80-an, terutama remaja. Tak lama kemudian, berganti ke model yang lain. Dari tahun ke tahun terus-menerus berganti hingga sampai pada mode yang digandrungi remaja dewasa ini adalah seperti yang digunakan oleh personel band The Changcuters: celana ketat dari atas sampai bawah. Sungguh banyak jenis pakaian, baik baju maupun celana, yang telah digandrungi oleh generasi muda kita, baik laki-laki maupun perempuan.
Pakaian merupakan salah satu mode yang sangat cepat perubahannya bila dibandingkan dengan mode-mode lainnya. Dalam waktu sebulan ke depan, mungkin saja mode pakaian yang berkembang di Indonesia akan berubah dengan beriringnya zaman dan pengaruh dari berbagai pihak, terutama dari tontonan di televisi.
Faktor dominan yang memengaruhi hal-hal di atas adalah tayangan-tayangan televisi. Maka tak jarang lagi kita lihat, sebagian besar siswa SMA (remaja) memakai pakaian ala artis. Para perempuan memakai baju seragam sekolahnya begitu ketat dengan menonjolkan lekuk tubuhnya, rok yang digunakannya pun begitu seksi (rok mini sampai paha) mempertontonkan putihnya paha, dan lain-lain. Adapun laki-laki memakai celana seragam ketat (kuncup) yang kadang-kadang celana dalam (maaf) sengaja diperlihatkan, apalagi bila mereka jongkok.
Semua itu adalah hasil imitasi yang salah dari pencarian jati diri seorang remaja. Karakteristik dunia remaja adalah mencari jati diri dan panutan. Mereka tengah mencari identitas diri dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh idola. Jika panutannya salah, maka mereka pun akan terjebak dalam kesalahan.
Dr. Arif Sadiman, M.Sc., dalam tulisannya yang berjudul ”Pengaruh Televisi pada Perubahan Perilaku” mengutip laporan UNESCO (1994) bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat aksi kekerasan. Hasilnya menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka itu sering menyaksikan film-film kekerasan yang ada di televisi-televisi (Jurnal Teknodik No.7/IV/Oktober/1999).
Data yang dilaporkan UNESCO di atas memang membahas hubungan antara televisi dengan tindak kekerasan, tetapi tidak menutup kemungkinan juga menyangkut hubungan antara televisi dengan dunia fashion. Berbagai pengaruh dapat ‘ditularkan’ oleh televisi, misalnya, cara berbicara, tingkah laku, tindak kekerasan, dan bahkan, cara berpakaian. Hal itu disebabkan oleh televisi memadukan audio dan visual sehingga membuat para pemirsa dapat dengan cepat meniru apa yang ada di dalam tontonan televisi.
Para remaja tak ada salahnya mengikuti mode fashion yang sedang berkembang. Namun, yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah apakah model pakaian tertentu yang mereka gandrungi tersebut sesuai dengan norma agama dan norma kesopanan? Apakah sesuai dengan masyarakat ketimuran kita yang masih menjunjung kesopanan?
Akibat dari salah panutan dalam cara berpakaian dewasa ini sudah banyak terjadi di masyarakat. Salah satu akibatnya yang sangat membuat hati miris adalah tindak pemerkosaan terhadap perempuan semakin marak terjadi di lingkungan kita.
Menurut penulis, sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa tak ada salahnya untuk mengikuti mode, tetapi harus dibarengi dengan keahlian dalam menyaring perkembangan fashion tersebut. Maksudnya adalah kita jangan sembarang mengikuti arus zaman, tetapi harus pintar memilih antara yang baik dengan buruk. Yang paling penting untuk diingat adalah kesesuaian mode tertentu dengan norma yang ada di masyarakat. Agar seorang individu pintar memilih perkembangan mode pakaian antara yang baik dengan yang buruk adalah perlunya penanaman budi pekerti sejak kecil dari orang tua kepada anaknya, baik agama maupun akhlak. Dengan begitu, mereka akan memiliki ‘daya tahan’ tersendiri untuk memilih baik-buruknya suatu hasil produksi perkembangan mode pakaian.
***
Dimuat di Harian Umum Bandung Ekspres, 17 April 2009

16 Mei 2009

Akhirnya, Tulisanku Dimuat

Akhirnya, Tulisanku Dimuat
Kamis, 17 Juli 2008, merupakan hari bersejarah bagiku. Hari itu aku merasakan bahagia yang tak terkira. Dunia terasa terang benderang menerangi perasaan, keinginan, harapan, dan cita-citaku untuk menjadi seorang penulis handal. Hari itu adalah saat kali pertama hasil karyaku berhasil menembus media cetak. Artikelku yang berjudul Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung, Jawa Barat.
Nikmat dan bahagianya tak terhingga, bukan main. Karena saking bahagianya, aku langsung mengirim SMS ke semua orang yang dekat denganku: PD III, ketua jurusan, para dosen, orang tua, saudara, teman, dan masih banyak lagi hingga tak terhitung. Apalagi ketika mendapat honor tulisan pertama itu di hari berikutnya, kebahagiaanku semakin lengkap.
***
Senin, 21 Agustus 2006, aku masuk organisasi kepenulisan yang bernama Forum Lingkar Pena (FLP), tepatnya FLP Jatinangor. Awal masuk FLP adalah suatu ketaksengajaan bagiku. Malam Senin itu, aku di-SMS oleh pementorku – namanya Kang Fajri – di DKM Al-Mushlih Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, untuk mengikuti suatu acara. Dalam SMS itu, beliau tak menyebutkan acaranya apa. Namun, Kang Fajri memberikan ‘iklan’ bahwa ‘engkau akan menyesal seumur hidup jika tak mengikuti acara tersebut’. Barangkali karena ‘iklan’ itulah, aku pun jadi penasaran untuk mengikuti acara tersebut. Akhirnya kuputuskan untuk hadir pada acara tersebut.
FLP, aku sama sekali tak kenal dengan organisasi ini. Jangankan FLP, nama-nama organisasi kepenulisan serupa dengan FLP pun aku tak mengenalnya. Alasannya adalah aku memang kekurangan informasi mengenai organisasi-organisasi kepenulisan itu karena aku terlahir di kalangan yang jauh dari jangkauan informasi ter-update. Kampung halamanku sangat terpelosok dari hiruk-pikuk perkotaan dan memang benar-benar sangat minim akan fasilitas-fasilitas informasi, seperti, internet, surat kabar, buku, komputer, dan lain-lain. Hal itulah barangkali yang menjadi alasan utama mengapa aku sama sekali tak tahu dan tak mengenal FLP, bahkan organisasi-organisasi kepenulisan di bumi Nusantara ini.
***
Aku hadir di acara tersebut tepat pukul delapan pagi. Panitia memperkenalkan kepada para peserta yang hadir saat itu mengenai profil FLP Pusat dan FLP Jatinangor. Perlahan aku pun semakin tahu dengan seluk-beluk FLP, kegiatan-kegiatannya, para penulisnya, dan sebagainya. Belakangan, aku semakin akrab dengan para penulis yang lahir dari organisasi ini, seperti, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Boim Lebon, M. Irfan Hidayatullah (kebetulan, beliau adalah seniorku di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran), Habiburrahman El-Shirazy, dan sejumlah nama lainnya.
Hari itu, Senin, 21 Agustus 2006, akhirnya saya resmi ‘dibaiat’ menjadi anggota FLP Jatinangor. Setelah acara pembukaan, kami mengikuti outbond. Setelah itu, mencurahkan apa yang kami alami ketika outbond itu ke dalam bentuk tulisan, seperti, cerpen, puisi, diari, dan sebagainya. Kemudian tulisan itu akan diserahkan ke panitia.
Saat itu aku menulis cerpen. Inilah kali pertama aku ‘menulis’ untuk orang lain, apalagi menulis dengan waktu yang diberikan panitia sangat sedikit. Meskipun laki-laki, saat SMA aku sering mencurahkan isi hatiku ke dalam diari yang kusimpan rapi di kamar. Entah berapa halaman diari telah kuhabiskan saat SMA dulu.
***
Waktu berjalan terus. Beragam acara yang bertemakan kepenulisan sering aku ikuti untuk memperoleh ilmunya, misalnya, seminar penulisan karya ilmiah, pelatihan menulis artikel di media massa, dan sebagainya. Selain ikut seminar, pelatihan, dan wokrshop kepenulisan itu, dengan ‘terpaksa’ aku banyak membeli buku mengenai cara menjadi penulis yang sukses dan menjadi penulis yang hebat. Selain itu pula, aku pun sering membaca novel yang berlabel ‘FLP’. Aku ingat betul novel yang berhasil khatam (selesai) kubaca pertama kali, yaitu Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Setelah itu, aku pun jadi keranjingan untuk membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi, terutama karya-karya anak FLP.
Selain sering membaca, aku mencoba mengungkapkan ide-ideku ke dalam bentuk tulisan. Aku ingin mencoba menulis untuk orang lain, bukan untuk diriku saja. Itulah yang selalu kucamkan dalam diri. Beberapa artikel telah kuhasilkan, kemudian coba kukirim ke surat kabar. Namun, hasilnya nihil. Entah sudah berapa kali aku mengirimkan artikel dan cerpen ke media massa, tetapi tetap tak dimuat. Tak ada hasil. Hingga akhirnya aku merasakan kebosanan. Aku pun menjadi malas untuk menulis, vakum dari dunia menulis begitu lama.
***
April 2008, FLP Jatinangor mendapat undangan dari FLP Pusat untuk menghadiri Silaturrahmi Nasional FLP pada tanggal 11-13 Juli 2008 di Jakarta. Aku dan kedua temanku pun hadir di sana. Aku seakan-akan menjadi manusia kerdil yang sedang berada di tengah-tengah segerombolan manusia raksasa (baca: sejumlah penulis hebat dan ternama). Aku menjadi ‘malu’ sendiri karena belum mempunyai satu karya pun yang berhasil dimuat dan dipublikasikan. Ada ‘rasa’ tersendiri padaku ketika bertemu dan bertatap muka dengan para penulis buku ternama, seperti, Ahmad Tohari, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Habiburrahman El-Shirazy, Boim Lebon, Fahri Asiza, dan masih banyak lagi.
Namun, aku tak patah arang. Aku tak boleh merasa kerdil. Aku ingin menjadi seperti mereka, bahkan insya Allah melebihi mereka. Itulah yang selalu kucamkan untuk memotivasi diriku sendiri.
Sepulang dari sana, ada seberkas cahaya yang memancar dalam jiwaku. Aku menjadi termotivasi untuk selalu menulis, menulis, dan menulis. Aku buka-buka materi Silaturrahmi Nasional FLP yang baru berlangsung beberapa hari yang lalu. Ada tiga makalah yang berhasil menarik minatku, yaitu milik Ahmad Tohari, Maman S. Mahayana, dan M. Irfan Hidayatullah. Dari ketiga ‘inspirasi’ itu, aku menulis artikel yang berjudul Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal (sesuai dengan tema Silaturrahmi Nasional FLP itu). Lalu artikel itu kukirim ke Kolom Literasi Kampus Harian Umum Pikiran Rakyat. Alhamdulillah tiga hari berikutnya, tepatnya pada tanggal 17 Juli 2008, artikel itu dimuat dan menjadi artikel pertama yang berhasil dimuat di media massa. Bahagianya bukan main.
Artikel yang pertama kali dimuat itu selalu kujadikan perangsang agar aku semakin aktif menulis. Alhamdulillah dengan keistiqamahanku, tulisan yang kuhasilkan telah berpuluh-puluh kali berhasil menembus berbagai media massa, seperti, Pikiran Rakyat, Galamedia, dan Bandung Ekspres. Aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah memberikan jalan kepadaku sehingga aku menjadi seperti ini. Banyak sekali hikmah di balik semua peristiwa dan jalan hidup yang kualami selama ini.
Masjid Jami’ Iqro
Bumi Rancaekek Kencana, 16 Mei 2009
Pukul 13.41 WIB

12 Mei 2009

Pendekatan Spiritual Korupsi


Pendekatan Spiritual Korupsi
Judul buku : Kisah-kisah Islam Anti Korupsi
Penulis : Nasiruddin Al-Barabbasi
Editor : Yadi Saeful Hidayat
Penerbit : Mizania
Tahun terbit : Cetakan pertama, Maret 2009
Tebal buku : 272 halaman
Beberapa waktu belakangan ini semakin merebak berita mengenai tindakan korupsi yang melibatkan berbagai pihak, antara lain, pejabat pemerintahan, pejabat perusahaan, dan lain-lain. Berita-berita tentang perbuatan haram tersebut seringkali kita saksikan di berbagai media massa yang beredar di masyarakat dewasa ini, baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan, minggu-minggu ini kita sering menyaksikan di seluruh media yang memuat kasus Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, yang diperiksa pihak kepolisian karena dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, kepala salah satu BUMN di negara kita ini. Meskipun belum jelas kaitannya dengan tindakan korupsi – karena sedang dalam pemeriksaan pihak kepolisian, paling tidak kasus tersebut telah membuat lembaga pemberantas korupsi itu mem-booming (baca: menjadi objek pembicaraan) di tengah-tengah masyarakat kita belakangan ini.
Dengan bergulirnya waktu, telah dirasakan bahwa Indonesia bukannya berkembang menuju arah yang lebih baik melainkan berkembang ke arah yang lebih buruk. Korupsi merajalela di mana-mana, di lembaga pemerintahan, lembaga peradilan, bahkan yang sangat mencengangkan adalah korupsi pun terjadi di Departemen Agama RI yang notabene-nya merupakan orang-orang yang ‘mengerti’ agama. Karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini, negara kita telah dinobatkan sebagai negara terkorup pertama di Asia pada tahun 2005.
Penulis memandang bahwa fenomena praktek korupsi yang penulis sebutkan di atas terjadi karena ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal yaitu faktor yang timbul dari individu pelaku itu sendiri yang ‘serakah’ terhadap kebutuhan duniawi dan ingin pula memperoleh kekayaan melalui jalan pintas, tanpa melakukan banyak usaha. Masalah individu inilah yang menjadi permasalahan utama. Tindakan korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai moral yang dapat mencegah praktik korupsi yang dilakukan oleh seseorang. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai moral yang berintegrasi menjadi kepribadian yang kokoh. Intinya, korupsi tidak akan terlaksana oleh seseorang bila seseorang tersebut memiliki kekuatan moral yang kokoh untuk menangkal praktek haram tersebut. Kedua, faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar pribadi koruptor (masalah sistem), misalnya hukuman bagi para koruptor selama ini yang tak tegas (ringan) dapat membuat mereka ‘ketagihan’ untuk melakukan aksi korupsi lagi, sehingga membuat mereka tak takut akan hukuman yang dijatuhi kepadanya. Adapula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa korupsi itu merupakan suatu hal yang biasa. Mereka menilai korupsi bukan hal yang tabu lagi. Semua itu menjadi faktor seseorang akan melakukan aksi korupsinya.
Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crime karena telah merusak. Yang dirusak adalah tidak hanya keuangan negara dan potensi ekonomi negara saja, tetapi juga telah menghancurleburkan sendi-sendi sosio-budaya, moral, politik, dan tatanan hukum serta keamanan nasional. Oleh karena itu, pemberantasannya tidak bisa hanya dilakukan oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial, tetapi harus dilaksanakan secara komprehensif oleh kita bersama (oleh aparat berwenang, masyarakat, mahasiswa, dan lain-lain).
Untuk memberantas polemik di atas, salah satu caranya adalah dengan menggunakan pendekatan spiritualistik, yaitu dengan menanamkan konsep-konsep yang bersifat spiritual, dengan menanamkan rasa takut kepada Tuhan dan azab-azab-Nya kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga dirinya dapat menghindari untuk melakukan praktik korupsi tersebut. Pemahaman terhadap agama harus dikuasai semenjak dini dengan kuat agar dapat membawa setiap individu pada saat bergelut di dunia kerja kelak. Tindakan-tindakan korupsi selama ini diharapkan dapat dijadikan bahan pelajaran bagi generasi muda agar pada masa depan, ketika memimpin bangsa nanti, tidak melakukan korupsi seperti yang terjadi selama ini. Generasi muda harus dijauhkan dari pengaruh korupsi.
Kisah-kisah Islam Anti Korupsi sangat cocok dibaca oleh semua kalangan, baik kalangan atas, menengah, maupun bawah. Buku ini sejalan dengan paparan penulis di atas mengenai pendekatan spiritualistik. Yang dimuat dalam buku ini adalah pengalaman-pengalaman atau kisah-kisah para sahabat dan para tabi’in yang dengan teguh hati memegang pendirian mereka untuk tidak melakukan perbuatan korupsi. Mereka dengan sepenuh hati untuk selalu berbuat jujur di manapun mereka berada karena mereka mempunyai pemahaman agama yang sangat tinggi. Mereka menyadari bahwa sekecil apapun perilaku korupsi yang mereka lakukan, maka akan dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang berat. Dengan membaca buku ini, diharapkan dapat memberikan setitik embun sejuk kepada para pejabat yang tengah berada dalam keterombang-ambingan hidup untuk melakukan tindak korupsi, menyuap, dan lain-lain. Dengan begitu, diharapkan pula dapat mengurangi tindak korupsi yang kian merajalela di bumi Nusantara ini. Semoga!
***