22 Mei 2009

Menyoal Isu Lokal dalam Karya Sastra

Lokalitas dalam Karya Sastra
Sastrawan besar Nusantara, Ahmad Tohari – bahkan mungkin semua pihak – menilai bahwa dalam menghasilkan suatu karya para penulis (sastrawan) muda Indonesia saat ini tampaknya tidak terlalu meminati tema-tema yang berwarna lokal, yang mencirikhaskan budaya daerah tertentu. Kepekaan mereka terhadap isu-isu lokal mungkin sangat rendah karena nilai-nilai lokal yang ada di frame mereka sudah demikian terkikis oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi produksi luar negeri.
Hal ini juga diamini oleh penulis muda, Tasaro. Dia mengatakan bahwa jika sedang marak fenomena buku nonfiksi, para penulis muda itu sibuk menulis buku nonfiksi pula; jika marak fenomena teenlit, maka mereka menulis teenlit pula. Fenomena ini tampak pada karya-karya yang telah penulis-penulis muda itu produksi selama ini. Menurutnya pula, seharusnya seorang penulis harus mampu menjadi trendsetter bagi para pembaca.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh kedua sastrawan ‘tua’ dan ‘muda’ di atas, jika dibandingkan dengan karya-karya Nusantara lama, fenomena karya-karya dewasa ini sangat berbeda. Karya sastra lokal sangat mudah ditemui pada karya-karya lama yang telah ditulis oleh sastrawan-sastrawan Indonesia sejak abad ke-18 dahulu. Setiap karya yang ditulis oleh para sastrawan ketika itu senantiasa mengusung tema lokal dan warna budaya Indonesia yang sangat khas sesuai dengan tempat penulis itu berasal, misalnya, novel trilogi-nya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala), Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisyahbana, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Robohnya Surau Kami karya AA. Navis, dan masih banyak lagi.
Muatan lokal yang diungkapkan di atas merupakan adat atau kebiasaan yang telah mentradisi, dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah di Indonesia ini, seperti halnya Subak di Bali, Bera di Kalimantan, dan lain-lain. Tradisi tersebut lahir dan berkembang dari generasi ke generasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya.
Pengamat Sastra, Melani Budianta, menilai bahwa globalitas dan lokalitas merupakan dua hal yang saling berlawanan, sekaligus saling berkaitan. Globalitas sesungguhnya berangkat dari makna yang tersusun dan terbentuk dari nilai-nilai lokal. Semula jangkauan pasar mereka adalah pasar lokal dan kebutuhan masyarakat itu sendiri, selanjutnya meluas ke daerah sekitarnya. Bahkan, sekarang ini kita dapat melihat jangkauannya sudah me-nasional, malah terkadang meranjak ke tingkat internasional.
Prof. Dr. Partini Sardjono Pradotokusumo dalam bukunya Pengkajian Sastra menulis bahwa suatu karya sastra dapat berfungsi – salah satunya – sebagai penyebar informasi. Penyebar informasi dari orang yang tahu kepada komunitas yang tak tahu. Dengan suatu karya sastra, seorang pembaca dapat mengetahui informasi atau fenomena yang sebelumnya mereka belum ketahui.
Sebagaimana telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa jumlah budaya (adat-istiadat dan tradisi) Nusantara yang lahir dan berkembang dari dulu sampai sekarang begitu banyak. Namun, tidak semua masyarakat dapat mengetahui setiap budaya yang tersebar di seluruh Indonesia itu karena minimnya media publikasi yang dilakukan oleh para pemilik budaya tersebut. Maka dari itu, sangat diperlukan pengeksplorasian budaya suatu bangsa untuk disebarkan ke masyarakat luas agar semua masyarakat dapat mengetahuinya, salah satunya melalui karya sastra, seperti halnya kita dapat mengetahui seluk-beluk ronggeng melalui Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan dapat belajar honocoroko dari novel Tasaro yang berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit.
Sastrawan adalah budayawan. Jadi, tugas seorang sastrawan bukan hanya sebatas menulis, melainkan juga tugasnya adalah menyebarkan informasi yang mereka dapat untuk dipublikasikan kepada masyarakat luas yang belum tahu. Kaitannya dengan pengetahuan budaya, sangat ironis bila para sastrawan tak peka dengan budayanya sendiri karena dapat mengakibatkan ‘kebutaan’ sosial terhadap budaya bangsa sendiri.
***
Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 14 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar